Rabu, 25 November 2009

BSNP: Putusan MA Tak Pengaruhi Ujian Nasional


Rabu, 25 November 2009 19:08 WIB
Semarang (ANTARA News)
- Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tak mempengaruhi penyelenggaraan UN pada 2010.

"Kami akan tetap menyelenggarakan UN pada 2010 sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan," katanya saat dihubungi dari Semarang, Rabu.

Menurut dia, sesuai dengan amanat PP Nomor 19/2005 tersebut, BSNP berkewajiban untuk menyelenggarakan UN bekerja sama dengan berbagai pihak, antara lain pemerintah, pemerintah daerah, setiap satuan pendidikan, termasuk kalangan perguruan tinggi.

Penyelenggaraan UN 2010 menurut dia, juga didasari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 75/2009 tentang UN tingkat SMA dan SMP, serta Permendiknas Nomor 74/2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD.

Ia mengatakan, sesuai PP Nomor 74/2009 tersebut, UN tingkat SMA, MA, dan SMK 2010 akan diselenggarakan pada minggu ketiga Maret 2010 mendatang, sedangkan UN untuk SMP akan diselenggarakan satu minggu setelah pelaksanaan UN tingkat SMA, MA, dan SMK.

"Kami memang mengakui dalam penyelenggaraan UN terdapat berbagai tindak kecurangan, namun kami tetap melakukan evaluasi dan perbaikan berkaitan dengan penyelenggaraan UN setiap tahunnya," kata guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.

Berkaitan dengan putusan MA itu, Mungin mengatakan, pihaknya akan mempelajari putusan MA terkait penolakan kasasi perkara UN yang diajukan pemerintah, sebab pihaknya hingga saat ini belum mendapatkan salinan resmi putusan MA tersebut.

Mungin menilai, penyelenggaraan UN secara obyektif, transparan, dan akuntabel tetap diperlukan, sebab hasilnya dapat digunakan untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, menentukan kelulusan, dan digunakan dalam seleksi masuk ke perguruan tinggi.

"Namun, UN hanya salah satu indikator penentu kelulusan, sebab masih ada beberapa indikator lain yang menjadi penentu kelulusan selain UN, seperti ujian akhir sekolah (UAS)," kata Mungin.

Perkara itu bermula dari "citizen lawsuit" (gugatan warga negara) yang diajukan Kristiono dan kawan-kawan terhadap presiden, wakil presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua BSNP yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan tersebut diterima. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan itu pada 6 Desember 2007. Pemerintah lalu mengajukan kasasi ke MA.

Akhirnya, MA melarang UN yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebab kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA. MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 yang diputus pada 14 September 2009.(*)

MA Tolak Kasasi Tentang Ujian Nasional

MA Tolak Kasasi Tentang Ujian Nasional
Kamis, 26 November 2009 02:59 WIB Jakarta (ANTARA News)
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) sehingga dengan putusan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa UN yang selama ini dilakukan adalah cacat hukum, dan selanjutnya UN dilarang untuk diselenggarakan.

Dalam laman MA, di Jakarta, Rabu, disebutkan, pemohon dalam perkara tersebut yakni pihak negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Negara RI cq Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla --saat permohonan itu diajukan--, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo --saat permohonan itu diajukan--.

Kemudian, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).

"Menolak permohonan kasasi para pemohon," demikian laman itu menyebutkan.

Selain itu, MA juga membebankan para Pemohon Kasasi/para Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp500 ribu.

Putusan itu sendiri diucapkan dalam Rapat Permusyawaratan hakim agung pada 14 September 2009 dengan ketua majelis hakim, Abbas Said, dan anggota Mansyur Kartayasa dan Imam Harjadi.

Adanya putusan tersebut, sekaligus menguatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 6 Desember 2007, namun pemerintah tetap menyelenggaran UN untuk 2008 dan 2009.

Pemerintah dianggap telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru baik sarana maupun prasarana, hingga pemerintah diminta untuk memperhatikan terjadinya gangguan psikologis dan mental para siswa sebagai dampak dari penyelenggaran UN.(*)

Rabu, 18 November 2009

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA

Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan terdiri atas:
1. pendidikan formal,
2. nonformal, dan
3. informal.

Jalur Pendidikan Formal
Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1. pendidikan dasar,
2. pendidikan menengah,
3. dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup:
1. pendidikan umum,
2. kejuruan,
3. akademik,
4. profesi,
5. vokasi,
6. keagamaan, dan
7. khusus.

Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas:
1. pendidikan menengah umum, dan
2. pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. akademi,
2. politeknik,
3. sekolah tinggi,
4. institut, atau
5. universitas.

Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi:
1. pendidikan kecakapan hidup,
2. pendidikan anak usia dini,
3. pendidikan kepemudaan,
4. pendidikan pemberdayaan perempuan,
5. pendidikan keaksaraan,
6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
7. pendidikan kesetaraan, serta
8. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1. lembaga kursus,
2. lembaga pelatihan,
3. kelompok belajar,
4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1. Taman Kanak-kanak (TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1. Kelompok Bermain (KB),
2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

.: Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

.: Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk:
1. pendidikan diniyah,
2. pesantren,
3. pasraman,
4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.


.: Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR ISTILAH

Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional adalah Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Peserta didik adalah Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Jalur pendidikan adalah Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Jenjang pendidikan adalah Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Jenis pendidikan adalah Kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Satuan pendidikan adalah Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan formal adalah Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal adalah Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan informal adalah Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan anak usia dini adalah Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan jarak jauh adalah Pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Standar nasional pendidikan adalah Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wajib belajar adalah Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Warga Negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat adalah Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

Minggu, 15 November 2009

MENGAJARKAN KOPERASI MELALUI SIMULASI PEMBENTUKAN KOPERASI

Ada yang berubah dalam kurikulum IPS saat ini. Salah satu yang berubah adalah tentang kedalaman salah satu materi pelaku kegiatan ekonomi yaitu koperasi. Saya secara pribadi tidak tahu alasan dari perubahann ini, padahal menurut saya pribadi materi ini cukup esensial diberikan kepada siswa untuk lebih memahami kelebihan dari salah satu badan usaha yang ada di Indonesia. Saat ini pembahasan koperasi hanya berkutat pada arti dan prinsip saja, padahal dalam kurikulum sebelumnya, materi yang harus sampai kepada siswa jauh lebih banyak dan mendalam.
Sebuah ironi bagi bangsa yang mengaku melandaskan kegiatan ekonominya atas asas kekeluargaan, namun memandang sebelah mata akan pentingnya materi koperasi ini di sekolah. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya koperasi ini adalah masyarakat belum sepenuhnya memahami hakekat, landasan dan tujuan dari koperasi. Bagaimana rakyat kita bisa tertarik untuk mendirikan dan mengembangkan koperasi kalau rakyatnya saja tidak memahami hakekat dan tujuan dari koperasi itu sendiri.
Ada beberapa hal yang sangat penting untuk disampaikan kepada siswa supaya mereka bisa memahami bahwa koperasi adalah badan usaha yang sesuai dengan UUD 1945 karena tidak semata mencari keuntungan, mengedepankan asas kekeluargaan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Dengan alasan itulah maka penulis menganggap sangat penting untuk tetap mengajarkan materi koperasi lebih mendalam dan lebih melalui metode yang diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran akan penting dan istimewanya koperasi dibandingkan dengan badan usaha jenis lain.

BENTUK SIMULASI
Untuk lebih jelaskan, saya akan utarakan beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan simulasi pembentukan koperasi ini, yaitu :
1. Guru harus membentuk kelompok dengan jumlah anggota disesuaikan dengan jumlah siswa di kelas. Untuk jumlah 40 siswa, kelompok dapat dibagi menjadi 8 kelompok dimana setiap kelompok beranggotakan 5 orang. Atau membuat 5 kelompok dengan anggota 8 orang.
2. Setiap kelompok harus mencalonkan anggotanya untuk dicalonkan menjadi ketua koperasi.
3. Guru mempersiapkan sarana prasaran yang mendukung simulasi, diantaranya konsideran (rancangan AD/ART), palu sidang, set tempat sidang, aturan dan standar baku sidang. Konsideran bisa dengan sengaja dibuat salah atau tidak sempurna dengan tujuan untuk memancing perdebatan diantara siswa untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. (Terlampir)
4. Guru menjelaskan tata cara, aturan dan tata tertib sidang secara garis besar.
5. Guru menyerahkan sepenuhnya proses sidang berikutnya penuh kepada siswa tanpa ikut campur lagi pada kelancaran atau proses sidang. Siswa diberikan kepercayaan penuh untuk menjalankan kegiatan sampai tujuan kegiatan tercapai, dalam hal ini sampai terpilihnya ketua koperasi.
6. Target atau tujuan sidang ini adalah terpilihnya ketua koperasi yang berasal dari nama yang diajukan oleh kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok harus mengeluarkan kemampuan dan energi serta strategi agar anggota kelompoknya terpilih menjadi ketua koperasi.
7. Kelompok yang berhasil menjadikan anggotanya menjadi ketua koperasi akan mendapatkan nilai 90 dan yang menjadi wakilnya akan mendapatkan nilai 80. Sementara kelompok lain akan mendapatkan nilai 70.

SIMULASI PEMBENTUKAN KOPERASI
Salah satu yang dilaksanakan oleh penulis dalam mengajarkan koperasi adalah melalui simulasi pembentukan koperasi. Simulasi ini adalah sebuah metode pembelajaran dengan menciptakan situasi dan kondisi meyerupai keadaan sebenarnya bila kita akan mendirikan koperasi. Siswa dihadapkan pada beberapa kondisi yang akan ditemui seandainya mereka akan mendirikan koperasi. Selama ini, kalaupun ada koperasi siswa di sekolah, siswa tidak dihadapkan kepada kondisi nyata sebagai anggota dimana mereka memiliki hak dan kewajiban sehingga belum mampu menumbuhkan kesadaran akan penting koperasi dalam sistem perekonomian Indonesia.
Beberapa kelebihan dari metode simulasi ini adalah:
1. Siswa dapat merasakan pengalaman atau suasana yang mendekati kondisi nyata tentang proses dan tata cara pedirian koperasi dan sidang. Misalnya dengan adanya pembahasan Anggaran dasar dan Anggaran rumah Tangga, adanya presidium sidang atau konsideran.
2. Melatih anak untuk mampu berpikir, berkata dan bertindak rasional, ilmiah dan sistematis karena dalam simulasi banyak situasi yang memaksa mereka untuk beradu argumentasi sesama siswa. Mereka diperkenalkan dengan situasi sidang yang umum akan mereka kenal kelak baik di OSIS maupun di organisasi lainnya di SMA atau kuliah.
3. Siswa dilatih untuk menyelesaikan masalahnya yang dihadapi secara mandiri tanpa tergantung pada guru.
4. Siswa dipaksa untuk mengerahkan kemampuan berpikir dan merencanakan strategi kemudian menjalankannya untuk mencapai tujuan dan target bersama.
5. Setiap siswa dapat merumuskan aturan, tata tertib, aturah hukum sendiri dan kemudian mengikuti aturan yang telah dibuatnya sendiri sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawab.

Namun demikian, dalam prosesnya penulis juga menemukan beberapa kelemahan dari proses ini. beberapa kelemahan yang harus diantisipasi oleh guru diantaranya:
1. Banyak siswa yang harus lebih dimaotivasi untuk mau terlibat dalam proses sidang. Pendekatan kebebasan yang diberikan dalam proses sidang ini akan membuat siswa merasa nyaman untuk ngobrol dan melakukan tindakan yang tidak berhubungan dengan sidang.
2. Masih ada siswa yang belum memahami cara berdebat dengan baik.
3. Siswa sering terjebak kedalam kondisi debat kusir. Namun siswa harus mampu mengatur hal tersebut dengan melakukan koreksi terhadap diri mereka sendiri.

CONTOH ATURAN SIDANG SECARA UMUM
Jenis interupsi :
Order : interupsi untuk menanyakan sesuatu yang belum dipahami.
Information : untuk menjawab atau memberikan penjelasan pada interupsi order.
Clear : memberikan solusi atau pemecahan masalah apabila sidang mengalami deadlock atau debat kusir.
Privellege : untuk menyatakan keberatan atas materi pembicaraan yang bersifat pribadi.

Ketuk Palu:
1 x : mengetuk keputusan yang telah diambil
2 x : untuk melakukan reses atau istirahat beberapa saat
3 x : untuk membuka dan menutup sidang

KONSIDERAN
ANGGARAN RUMAH TANGGA KOPERASI SMP TARUNA BAKTI BANDUNG

BAB I
Nama, tempat dan wilayah dan tujuan
Pasal 1
Koperasi ini adalah koperasi siswa SMP Taruna Bakti yang bernama Koperasi “CINTA HARTA”
Koperasi ini berkedudukan di lingkungan SD, SMP dan SMA Taruna Bakti Bandung

BAB II
Landasan, prinsip dan tujuan
Pasal 2
Koperasi Cinta Harta adalah organisasi tunggal di SMP Taruna Bakti yang bersifat swadaya dan berlawanan dengan OSIS, yang berlandaskan Islam dan Undang-undang Dasar 1945 serta menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, budaya, kesetiakawaan dan gotong royong

Pasal 3
Koperasi melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi yaitu:
1. keanggotkeanggotaan bersifat wajib dan terbuka
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. Pembagian SHU dilakukan secara adil menurut jabatan dan posisi anggota dalam koperasi
4. Pemberian jasa yang terbatas terhadap modal
5. Mandiri
6. Pendidikan dan pengembangan koperasi

Pasal 4
Tujuan koperasi ini adalah:
1. Meningkatkan kesejahteraan pengurus
2. Meningkatkan kualitas siswa SMP Taruna Bakti melalui pendidikan perkoperasian
3. Mencari keuntungan sebesar-besarnya

BAB III
Keanggotaan
Pasal 5
1. Anggota biasa yaitu semua siswa Taruna Bakti
2. Anggota luar biasa yaitu orang yang mengetahui tentang perkoperasian dan diangkat sebagai anggota untuk membantu perkembangan koperasi dan memiliki hak istimewa untuk membubarkan koperasi

Pasal 6
Setiap anggota koperasi berhak untuk:
1. Memperoleh layanan yang baik dari koperasi
2. Meminjam modal atau uang ke lembaga lain dengan atas nama koperasi
3. Menghadiri dan berpendapat di dalam rapat anggota koperasi
4. Memiliki hak suara dan hak bicara
5. Menggunakan fasilitas apapun yang ada di kantor koperasi
6. Mengajukan, memilih dan dipilih menjadi ketua koperasi
7. Keanggotaan berakhir bila anggota mengundurkan diri, meninggal dan pindah sekolah

BAB IV
Pasal 7
Tata tertib Rapat Anggota
1. Peserta rapat adalah seluruh siswa SMP Taruna Bakti
2. Rapat dipimpin oleh 3 presidium sidang yang ditentukan oleh anggota
3. Presidium sidang tidak boleh memilih dan dipilih menjadi ketua koperasi
4. Rapat anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi
5. Rapat anggota bertujuan untuk meminta laporan pertanggungjawaban pengurus dan memilih ketua koperasi
6. Rapat dianggap sah bila telah memenuhi kuorum yaitu dihadiri oleh seluruh anggota koperasi
7. Bila rapat tidak memenuhi kuorum seluruh anggota maka rapat harus ditunda
8. Anggota biasa memiliki hak suara dan hak bicara
9. Anggota luar biasa memiliki hak bicara

Pasal 8
Pemilihan ketua koperasi
Syarat calon ketua koperasi:
1. Pernah menjadi Ketua kelas
2. Memiliki sifat jujur dan baik hati
3. Harus berpengalaman di OSIS minimal 1 tahun
4. Memiliki tingkat IQ minimal 120
5. Pernah ranking 3 besar
6. Mendapatkan dukungan minimal 10 anggota koperasi dalam bentuk tanda tangan
7. Tidak memiliki pacar yang bisa menghambat kinerja sebagai ketua koperasi
8. Memiliki rencana yang baik untuk mengembangkan koperasi dengan cara memaparkannya di depan seluruh anggota

Pasal 9
Tata cara pemilihan:
1. Setiap kelompok wajib mendaftarkan calon ketua yang memenuhi syarat kepada presidium sidang minimal 15 menit sebelum pemilihan
2. Calon yang tidak memenuhi syarat akan di diskualifasi dan kelompok tidak boleh mengajukan calon pengganti
3. Calon yang memenuhi syarat harus memaparkan programnya di depan anggota koperasi
4. Pemilihan dilakukan secara musyawarah dan mufakat
5. Bila tidak mencapai kata sepakat maka pemilihan akan dilanjutkan dengan vooting yaitu melalui suara terbanyak
6. Apabila ada tiga calon dan hasilnya sama maka pemilihan akan dilakukan kembali antara suara yang sama tersebut.

Senin, 09 November 2009

JANGAN BERHENTI BERMAIN…! (Bagian 1)


“Manusia berhenti bermain bukan karena menjadi tua, manusia menjadi tua karena berhenti bermain” OLIVER WENDELL HOLMES.

“Jangan kaya anak kecil dong…ayo kerja!” “Kamu tuh dari tadi main terus, pekerjaan rumah masih banyak, kerjakan!” “Jangan buang-buang waktu untuk main, ayo belajar/bekerja!” “Kalian sudah dewasa. Perhatikan dan berhenti bermain!”

Kapan terakhir kali kita meluangkan waktu untuk bermain? Benar-benar bermain! Bukan Outbond, bukan pelatihan, bukan In House Training, bukan lomba dan bukan aktivitas dengan embel-embel melaksanakan tugas. Benar-benar bermain!
Dan pernahkah kita mendapatkan teguran disaat kita sedang melakukan sebuah kegiatan “BERMAIN”. Sebuah aktivitas untuk sekedar melepaskan diri dari rutinitas dipekerjaan atau sekolah dengan melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan namun hanya sekedar menyenangkan hati. Bahkan apabila kita meluangkan waktu disela-sela rapat yang serius, atau dalam kajian presentasi yang penting, maka kata teguran diatas sering terdengar.
Benarkah sebuah kreativitas hanya lahir dari suasana yang serius dan hanya fokus pada apa yang sedang kita kerjakan? Ataukah justru kreativitas lahir dalam suasana yang lebih longgar, fleksibel dan penuh humor?
“Orang kreatif yang sukses tahu bahwa jika suatu pekerjaan tidak menarik, pekerjaan itu tidak perlu dikerjakan. Pribadi kreatif amat mengagungkan suasana gembira karena membuatnya membumbung tinggi dalam upaya mengejar cita-cita. Begitu pentingnya suasana riang ini, dalam kegiatan sehari-hari pun orang kreatif sering menjadwalkan rehat untuk berasyik-ria.”(Jordan E. Ayan, Bengkel Kreativitas,2002).
Kita sering melihat sosok seorang joker atau pelawak didalam istana kerajaan jaman dahulu, atau kita sering juga melihat peran Semar dan anak-anaknya dalam cerita wayang di Indonesia, atau “Lengser” dalam budaya sunda? Mereka diperankan sebagai orang yang diharapkan mampu mencairkan suasana ketika semuanya sedang buntu dan kering dengan ide. Sebenarnya seberapa besar pengaruh “bermain” terhadap pengembangan potensi dan kreativitas lingkungan sekitar.

“Hampir semua gagasan baru memiliki ‘sisi pandir’ saat pertama dihasilkan” –Alfred North Whitehead-

Setiap bentuk kreativitas selalu melangkah maju satu -seribu- langkah dari pikiran masyarakat pada umumnya. Karena langkah orang-orang kreatif senantiasa “tidak biasa” maka pola perkembangan dan proses kelahirannya pun senantiasa dari pikiran kekanak-kanakan pelakunya. Untuk itu maka, untuk merangsang sebuah proses berpikir dan mencipta yang kreatif diperlukan sebuah suasana yang kondusif bagi hal tersebut, yaitu kondisi yang santai dan bernuansa bermain.
Dalam pandangan masyarakat sekarang, seolah sebuah proses berpikir dan bertindak kreatif harus dalam suasana yang serius dan fokus dalam satu permasalahan, padahal banyak suatu hasil kreatif pada suatu bidang muncul dari permainan di bidang lain. Pandangan ini tidak selamanya salah, namun biasanya kondisi serius justru bukan pada proses berpikir memunculkan ide kreatif, namun pada proses aktivitas mewujudkan hasil ide tersebut.
“Etika bermain” yang kita alami dimasa anak-anak, berubah seiring waktu menjadi “etika bekerja atau belajar” sehingga pola pikir dan daya imajinasi kita terkungkung da terjebak dalam rutinitas. Dalam etika bermain, kita bisa menemukan banyak hal karena memang nuansa bermain melahirkan sebuah kondisi pikiran yang mengandung kreativitas, yaitu –RASA INGIN TAHU-, ingin mecoba, tidak puas dengan cara biasa, rasa takjub atau sekedar mencoba sesuatu hal yang tidak biasa.
“Seseorang bisa saja bermain tanpa menjadi kreatif, namun mustahil dia menjadi kreatif tanpa bermain”-Wake Up Your Genius, Kurt Hanks and Jay Parry-

Bermain juga melahirkan suasana yang menyenangkan dan melepaskan diri kita dari rintangan kreativitas yang umum kita temukan, yaitu rasa tegang dan ketakutan yang berlebih. Di suasana yang tegang dan takut yang berlebihan, insting lari atau nekad menjadi dominan sehingga pikiran “tidak biasa” menjadi tidak mewujud dalam pikiran dan ide.
Bermain juga melahirkan suasana yang relaks, mengurangi ketegangan dan akhirnya membawa efek fisiologis, dimana mampu mendorong otak untuk mengeluarkan beta-endorfin, “opium rasa nyaman” dan menjadikan hidup semarak dan mampu mendongkrak rasa percaya diri. Bermain bisa mencegah rasa bosan. Dunia kerja tanpa canda dan gelak tawa akan melahirkan suasana kaku dan hambar.
Yang paling penting dari bermain adalah terciptanya jalur komunikasi yang lebih rileks dan intens dalam suasana yang santai dan penuh canda. Jalur ini penting untuk munculnya tukar pengalaman dan gagasan “gila” dari satu orang ke orang lainnya. Banyak organisasi bisnis yang menerapkan metode bermain untuk memuculkan ide brilyan ini dengan mengadakan acara “family gathering”, “outbond” atau sekedar jalan-jalan dan memancing.
Kegembiraan yang disulut oleh perlengkapan mainan, juga mampu mengilhami segala jenis pencarian dalam bidang seni. Winnie the Pooh diciptakan A.A. Milne berdasarkan boneka beruang kesayangan putranya. Tari Balet Nutcracer karya Tcaikovsky berkisah tentang boneka prajurit telah terbukti mampu mengeruk uang dalam jumlah besar.
Berikut adalah cara menambahkan suasana asyik daam rutinitas sehari-hari .”(Jordan E. Ayan, Bengkel Kreativitas,2002):
1. Ambil crayon dan buatlah gambar tentang kegembiraan anda.
2. Mainkan alat musik ringan seperti harmonika atau suling.
3. Ada acara “Spons Berjalan”, yaitu berjalan-jalan sambil menyerap ide dari pengalaman sepanjang jalan.
4. Bawa “kotak mainan” dan mainkan ketika kita berada dalam suasana buntu kreativitas.
5. Bermain lompat tali, gasing atau hula hup.
6. Luangkan untuk memulai hobi baru.
7. Rancang sebuah rumah pohon khayalan.
8. Mainkan musik dan menarilah.
9. Bermain dengan gumpalan malam dan cat minyak.
10. Pergilah bersepeda atau sepatu luncur.
11. Pakai topi dan aksesoris yang tidak biasa.
12. Baca buku lelucon.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd
9 November 2009

Rabu, 04 November 2009

BEBERAPA BENTUK KENDALA PENGHAMBAT KREATIFITAS SISWA

KENDALA DARI GURU
Mengutip dari Cropley (1989), prof.Dr.S.C. Utami Munandar mengemukakan beberapa karakteristik guru yang cenderung akan menghambat kreatifitas dan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat atau mengembangkan kreatifitasnya, diantaranya adalah :
1. Penekanan bahwa guru selalu benar.
2. Penekanan berlebih pada hapalan.
3. Penekanan pada belajar secara mekanis tekhnis pemecahan masalah.
4. Penekanan pada evaluasi ekternal (oleh guru) dan kurang mementingkan evaluasi oleh siswa itu sendiri.
5. Penekanan secara ketat untuk menyelesaikan pekerjaan.
6. Penekanan berlebihan pada konformitas terhadap norma kelompok.
7. Perbedaan secara kaku antara bekerja dan bermain dengan menekankan makna dan manfaat bekerja, sedangkan bermain adalah sekedar untuk rekreasi.


KENDALA DARI BUDAYA
Dalam bukunya “Conceptual Blockbusting” J.L. Adams mengungkapkan beberapa kendala budaya terhadap kreatifitas diantaranya :
1. Menganggap bahwa berkhayal atau melamun adalah membuang-buang waktu.
2. Suka atau sikap bermain hanya untuk anak-anak dan membuang-buang waktu.
3. Kita harus berpikir logis, kritis, analistis, dan tidak mengandalkan pada perasaan, firasat, dan intuisi.
4. Setiap masalah dapat dipecahkan dengan pemikiran ilmiah dan dengan uang.
5. Keterikatan dan kepercayaan terhadap tradisi.
6. Adanya atau berlaku tabu-tabu yang berkembang di masyarakat.

KENDALA DARI KELUARGA
Termasuk lingkungan dekat seperti lingkungan rumah baik dari aspek fisik ataupun sosial. Berikut adalah kendala-kendala yang muncul dari lingkungan terdekat dari siswa yang menghambat pengembangan kreatifitas, yaitu:
1. Kurang adanya kerjasama dan saling percaya antara anggota keluarga dan dalam pertemanan.
2. Orang tua yang otokrat dan tidak terbuka terhadap ide-ide anak.
3. Ketidaknyamanan dalam keluarga dan lingkungan.
4. Gangguan dari lingkungan, keributan dan kegelisahan.
5. Kurang ada dukungan untuk mewujudkan gagasan-gagasan.

KENDALA DARI SISWA ITU SENDIRI
Kendala persepsi
1. Sulit mengidentifikasi masalah.
2. Selalu lari dari masalah.
3. Tidak mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
4. Hanya terpaku pada harapan, stereotip atau pe-label-an yang terlalu dini.
5. Tidak peka terhadap masukan sensorik.

Kendala emosi
1. Tidak adanya tantangan sehingga tidak menarik perhatian.
2. Semangat yang berlebihan sehingga ekspektasi terlalu tinggi.
3. Takut membuat kesalahan karena perfeksionis.
4. Tidak tenggang rasa terhadap keteraturan dan keamanan.
5. Lebih suka menilai gagasan ketimbang mengemukakan gagasan.
6. Tidak dapat rileks atau ber-inkubasi.

Kendala imajinasi
1. Pengendalian yang terlalu ketat terhadap alam prasadar dan tidak sadar.
2. Tidak memberi kesempatan pada daya imajinasi.
3. Tidak mampu membedakan antara realitas dan fantasi.

Kendala intelektual
1. Kurang informasi atau mendapat informasi yang salah.
2. Tidak lentur menggunakan stratgei pemecahan masalah.
3. Perumusan masalah tidak tepat.

Kendala pengungkapan
1. Keterampilan bahasa kurang untuk mengungkapkan gagasan.
2. Kelambanan dalam ungkapan secara tertulis.

Sumber bacaan:
Kreatifitas dan keberbakatan (Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat)
Imam Wibawa Mukti,S.Pd
Bandung, 4 November 2009

Selasa, 03 November 2009

SEKOLAH SEBAGAI SUMBER KENDALA DALAM PENGEMBANGAN KREATIFITAS ANAK


Mengapa kita-atau siswa- sangat sulit untuk bertindak kreatif? Dalam kenyataannya, seseorang sering menghadapi kendala dalam mengembangkan kreatifitasnya. Dari beberapa sumber kendala tersebut salah satu diantaranya adalah sekolah dan guru. Tanpa disadari oleh guru atau sekolah, sering kita temui beberapa tindakan guru yang bermaksud untuk mengembangkan kreatifitas, namun tindakan yang dilakukan justru membunuh kreatifitas itu sendiri. Misalnya, guru lebih menekankan pada hasil belajar berupa angka-angka ketimbang proses yang mengembangkan kreatifitas, tidak menanggapi umpan balik dari siswa tentang proses kegiatan belajar mengajar atau guru senantiasa mengawasi dan khawatir dengan tindakan siswa di kelas. Beberapa contoh lain dari hambatan pengembangan kreatifitas di sekolah adalah guru sering memberikan instruksi yang terlalu detail tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa sehingga siswa tidak mampu berkreasi secara bebas.
PYGMALION EFFECT
Ketika guru masuk ke dalam kelas, sebenarnya guru telah membawa sebuah sikap yang ditentukan oleh harapan guru tersebut kepada siswanya. Bila guru akan masuk ke dalam kelas yang sebagian besar muridnya memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, maka guru cenderung bersemangat dan memiliki harapan yang tinggi pula terhadap anak-anaknya. Sementara ketika akan masuk ke dalam kelas yang mayoritas siswanya terdiri atas siswa yang memiliki kecerdasan rata-rata maka guru pun akan cenderung memiliki harapan yang rendah. Sikap dan harapan ini akan berdampak pada “semangat” dan sikap guru dalam mengajar anaksiswanya.
Dalam istilah motvasi kita mengenal istilah Pygmalion effect, yaitu bahwa tanpa disadari seseorang berperilaku sebagaimana ia percaya orang lain mengharapkan ia berperilaku. Jika siswa menyadari atau tidak, gurunya memberikan harapan yang tinggi kepada mereka, maka mereka akan melakukannya sesuai dengan harapan guru tersebut. Namun sebaliknya, bila siswa menyadari atau tidak bahwa gurunya tidak mempercayai mereka bisa berbuat yang terbaik, maka mereka akan cenderung bertindak sesuai dengan harapan gurunya.
Oleh karena itu, ketika guru akan masuk ke dalam kelas, maka setiap guru harus berada pada titik 0, yaitu suatu keadaan bathin dan sikap netral memandang siswanya untuk kemudian secara sadar memberikan sikap dan perlakuan yang sama kepada semua siswanya. Hal ini akan mengurangi dominasi prasangka dan perasaan ketika akan memulai mengajar. Misalnya, karena masuk ke dalam kelas yang siswanya didominasi oleh siswa cerdas maka guru tersebut memberikan bentuk soal latihan atau test yang lebih menantang sementara karena masuk kelas yang siswanya memiliki kecerdasan rata-rata maka guru memberikan soal atau latihan yang tidak menantang.
Pygmalion effect juga sering disebut self fulfilling prophesy, yaitu bahwa tanpa disadari orang akan berperilaku sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku (Chaplin, 1976). Jadi pada prinsipnya, prestasi dan kreatifitas siswa akan sangat dipengaruhi juga oleh sikap dan perlakukan guru terhadap mereka.

METODE HAPALAN
Sampai saat ini, proses kegiatan belajar mengajar di sekolah lebih menekankan pada hasil ketimbang proses. Hal ini tentunya bukan hanya masalah guru namun juga sistem pendidikan Indonesia secara umum yang memang menekankan hasil berupa angka ketimbang pemahaman dan kemampuan siswa dalam memaknai ilmu dan informasi yang diperolehnya. Metode seperti ini, dalam metode pendidikan disebut sebagai “metode menghapal mekanis”.
Metode ini termasuk metode yang sering dipakai dalam sistem pendidikan tradisional yang mengharapkan supaya pendidikan “back to basic” untuk memberikan ilmu dasar sebagai landasan kuat bagi siswa untuk masuk kedalam masyarakat. Pandangan ini bisa menjadi benar ketika kita berpikir bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan pembelajaran bahan pengetahuan dasar. Namun kelemahan dari metode ini adalah bahwa menumpuknya ilmu dalam benak siswa belum tentu akan mampu dieksplor atau dimanfaatkan oleh siswa ketika mereka berhadapan dengan masalah sebenarnya dalam hidup, bahkan bisa jadi masalah apabila proses penumpukan ilmu itu pun dilakukan hanya sebatas ingatan semata. Kreatifitas tidak akan muncul melalui pengumpulan ilmu dan teori namun harus dilatih melalui sebuah proses panjang sampai siswa bisa merasakan sendiri dari manfaat ilmu yang dipelajarinya.
Namun dalam perkembangannya, ditengah-tengah masyarakat muncul tuntutan untuk merubah metode tersebut dari metode menghapal mekanis kebentuk metode variatif dimana siswa diberikan kebebasan untuk memahami ilmunya dengan metode “democratic teaching”. Metode democratic teaching lebih menekankan pada proses diskusi dimana siswa diberikan keleluasan waktu untuk mencari pengetahuan secara mandiri dimana guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator.

TEKANAN TEMAN SEBAYA
Dalam pertemanan, siswa memiliki masalah yang jauh lebih rumit dari sekedar menghapal sebuah teori atau memahami sebuah rumus. Hampir tidak ada materi pelajaran di kelas yang bisa membekali siswa untuk bisa memahami apa yang mereka alami di lingkungannya. Berbagai macam masalah dan konflik dan permasalahan mengalir begitu deras dalam pergaulan mereka sehari-hari. Berbagai macam karakter guru dan teman terpampang jelas dan menantang di depan wajah mereka.
Lantas dimana guru berperan?
Tekanan dari teman bisa muncul dari sikap teman yang meremehkan, berharap banyak, penilaian, ancaman atau sekedar teror “mental” berupa ucapan terhadap tingkah siswa kita. Tekanan itu sangat berdampak dalam kemampuan siswa untuk mengembangkan potensi bila tidak berhasil di”manage” secara bijak.
Proses penenggelaman potensi ini berproses dalam jangka waktu tertentu yang berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya. Sehingga sekolah dan guru memiliki waktu untuk membantu mereka mengatasi masalah dalam pertemanan ini. tanpa bantuan guru, siswa bisa tidak fokus dalam menetapkan prioritas masalah yang harus diselesaikan, diabaikan atau sekedar dipikirkan. Guru hanya membantu dalam proses dimana siswa diberikan masukan, alasan dan alternatif solusi dan setelah itu biarkan siswa memilih sendiri dengan kesadaran untuk menangung segala konsekuensi yang akan dihadapinya.
Proses penyadaran ini diharapkan melatih kemampuan siswa untuk mengatasi segala permasalahannya secara kreatif dan tidak membuat mereka rendah diri untuk sekedar menunjukkan kemampuannya dihadapan teman-temannya. Penyadaran ini memang membutuhkan kesabaran semua pihak, karena dalam masa perkembangan mereka cenderung untuk merasa benar dan telah mampu berdiri sendiri. Jangan datang kepada mereka namun ketika mereka datang, kita harus dalam posisi ada untuk menyambut mereka.

MENYIKAPI KEGAGALAN
Kegagalan adalah sebuah kenyataan yang sering dialami oleh setiap orang, termasuk Edison sekalipun. Namun yang menjadi pembeda dengan kita, Thomas Alfa Edison menganggap bahwa setiap kegagalannya adalah sebagai sebuah hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Bagi Edison, kegagalan adalah cara dia menemukan sesuatu yang belum benar. Bukan sebagai akhir dari sebuah proses.
Guru harus mampu menanamkan kesadaran terhadap siswa didiknya bagaimana mengelola sebuah kegagalan sebagai sebuah hikmah atau ilmu yang bermanfaat bagi dirinya ketika menghadapi permasalahan yang sama dimasa mendatang.
Memunculkan motivasi kepada anak untuk mampu bangkit dari kegagalan adalah dengan cara membantu siswa untuk memahami sumber atau penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut. Guru harus mampu menggiring bahwa penyebab kegagalan adalah bersumber dari segala sesuatu yang sebenarnya bisa dirubah. Kalau ada anak yang menganggap bahwa kegagalan yang diperolehnya karena ketidakmampuan dirinya untuk mencapai keberhasilan, maka guru harus menggiringnya menjadi sesuatu yang bisa dirubah, misalnya karena kurang perencanaan, salah metode atau sekedar kurang giat usaha.
Bila siswa tidak diberikan gambaran tentang hal itu dan berkutat dengan keyakinan dirinya, bahwa kegagalan itu adalah karena dirinya tidak mampu, maka siswa akan tidak termotivasi untuk mencapai sasaran berikutnya karena menganggap, tujuan apapun akan gagal karena dirinya tidak mampu.

RASA BOSAN YANG MEMUNCAK
Kita menganal Thomas alfa Edison yang dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap tidak mampu belajar dengan baik disekolahnya. Kita mengenal Einstein yang dikatakan malas oleh gurunya dan dihakimi tidak akan berhasil dalam hidupnya, begitu juga dengan Charles Darwin yang sering dimarahi gurunya karena lebih senang naik pohon dan mengamati makhluk disekitarnya dibandingkan duduk manis di kelas mendengarkan guru yang sedang mengajar. Contoh-contoh didepan merupakan beberapa contoh bagaimana sekolah kurang mampu mengakomodasi berbagai macam bentuk kecerdasan yang dimiliki oleh siswanya.
Sekolah sering terjebak pada sebuah anggapan bahwa semua siswa memiliki potensi, bakat , gaya belajar dan tingkat kepandaian yang sama sehingga pada akhirnya diperlakukan dan dilayani dengan metode yang seragam. Penyeragaman ini sangat berpotensi untuk membuat anak merasa jenuh dan terhambat kreatifitasnya.
Dalam beberapa ulasan banyak diuraikan penyebab kejenuhan siswa terhadap kegiatan belajar, salah satunya adalah metode belajar yang tidak tepat, tidak ada variasi pembelajaran, sarana sekolah yang sangat terbatas atau cara guru yang mengajar dengan cara monoton. Dari sebab-sebab diatas, tentunya yang paling berperan untuk melahirkan kembali hasrat untuk berprestasi dan kreatif adalah kemampuan guru dalam merekayasa proses pembalajaran menjadi lebih bermakna, berwarna dan bergaya.

Semoga tulisan ini sedikitnya mampu memberikan wawasan bagi guru dan sekolah untuk menghindari berbagai macam hal yang dapat menghambat bahkan mematikan kreatifitas siswa di sekolah.

imamwibawamukti@yahoo.co.id
4-11-2009

Minggu, 01 November 2009

BAGAIMANA MENGELOLA KELAS?

Saya sengaja tidak melanjutkan judulnya menjadi bagaimana mengelola kelas menjadi lebih baik, karena pada hakekatnya setiap guru memiliki standar dan cara untuk menentukan apakah kelasnya sudah baik atau tidak. Dan juga saya tidak mau memiliki beban seolah saya bisa menciptakan suasana seperti itu. Karena dalam kenyataannya, semua guru meemukan karakteristik unik dari setiap kelas. Ada satu kelas yang ribut di saat guru tertetu mengajar namun tidak ribut di saat guru yang lain. Ada kelas yang antusias di guru tertentu, tapi kurang antusias saat guru yang lain.
Semoga itu bukan masalah karena kelas juga membawa karakter tertentu. Ada kelas yang didominasi oleh anak-anak “kognitif”, ada kelas yang didominasi anak-anak “psikomotor” atau “afektif”. Dan ada juga kelasnya didominasi oleh anak-anak audio, visual atau motorik. Sehingga gaya mengajar guru satu belum tentu cocok dengan karakter kelas dan justru cocok dengan guru yang lain. Walau begitu, secara garis besar kita bisa membuat indikator umum untuk menilai apakah kita sudah membuat suasana kelas yang kondusif untuk kegiatan belajar atau belum. Indikator ini bisa kita susun menurut pengalaman kita sehingga bisa jadi ada beberapa indikator yang sama dengan guru lain dan indikator yang berbeda bisa kita simpan sebagai bahan kajian sendiri.
Beberapa indikator umum tersebut diantaranya:
1. Siswa dapat belajar dengan baik tanpa diganggu oleh kurangnya informasi atau ketidaktahuan mereka akan tugas di saat belajar.
2. Waktu belajar dapat digunakan secara maksimal untuk proses belajar tanpa diganggu oleh fasilitas yang belum dipersiapkan atau kegiatan yang tidak menunjang pembelajaran.
3. Guru secara maksimal dapat mengotimalkan sarana dan potensi yang ada dikelas (siswa atau media) untuk menunjang kegiatan belajar mengajar.
Jadi, bila ketiga unsur ini terpenuhi, maka secara umum guru telah mampu mengelola kelas dengan baik. Masalah yang muncul di kelas bisa sangat kasuistis, dimana guru mungkin akan mendapatkan siswa yang ribut, mengantuk atau tidak mengerjakan tugas. Namun hal tersebut tentunya bisa ditangani guru dengan baik berdasarkan pengalaman dan ilmu yang telah diperoleh.
Saya kurang tertarik untuk membahas kasus perkasus masalah yang senantiasa muncul di kelas. Hal ini disebabkan hal-hal tersebut menjadi wewenang guru untuk menanganinya. Tidak ada hak seorang guru untuk membicarakan atau menanggapi trik, cara atau strategi yang dipakai guru dalam mengelola kelas selama itu pada tataran teknis. Namun bila ada kesalahan yang sudah prinsip maka semua pihak berkewajiban untuk saling mengingatkan. Misalnya ada guru yang melakukan kekerasan fisik terhadap siswa, maka itu sudah menyentuh pada tataran filosofis pendidikan dan etika profesi. Tidak ada pembenaran untuk kekerasa fisik maupun psikis untuk mendidik siswa. Maka guru berhak dan berkewajiban untuk mengingatkannya.

Apa itu pengelolaan kelas?
Berbicara kelas, ada beberapa pandangan tentang konsep tentang kelas. Ada yang memandang kelas sebagai ruangan yang disekat oleh empat dinding dan berisi media pembelajaran. Pandangan ini disebut sebagai aspek statis, dimana kelas dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Dalam pandangan ini pula, kelas bisa direkayasa secara pasti untuk menunjang situasi yang kondusif bagi proses pembelajaran.
Konsep kedua tentang kelas, ada yang memandang kelas dalam pengertian dinamis. Kelas dipandang sebagai suatu komunitas kecil di sekolah yang menjadi kesatuan organis yang memiliki unit kerja secara dinamis dengan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai tujuan bersama.
Dari kedua konsep tersebut, maka kita sebagai guru�����tut untuk mampu mengelola kelas dari aspek fisik dan aspek psikis. Berapa banyak guru yang setelah sekian lama tidak pernah mengganti gambar di dinding kelas? Atau banyak sekolah yang sudah tidak mengganti warna cat kelas dengan yang sudah kusam? Lantas bagaimana anak bisa betah di kelas seperti itu? Jangankan untuk menerima materi, untuk sekedar nyaman saja duduk di kelas, mereka sulit melakukannya.
Untuk itu maka, guru diharapkan untuk mampu menciptakan suasana yang menyenangkan, menggairahkan dan menumbuhkan rasa ingin tahu pada anak dengan situasi kelas yang ada. Rubahlah gambar dengan yang lebih baru, cat kelas yang cerah atau tulisan-tulisan yang mampu memberikan semangat.
Untuk pengertian kedua, guru harus memperhatikan aspek siswa sebagai subjek pembelajaran. Bila guru terlalu fokus kepada kelas sebagai fisik, maka guru akan cenderung memperlakukan anak juga sebagai benda mati yang hanya bertindak sebagai objek pembelajaran. Siswa dianggap sebagai gelas yang hanya bertugas untuk belajar dan menyelesaikan tugas semata. Dan ini yang sering menimbulkan masalah.
Adapun pengertian pengelolaan biasanya identik dengan manajemen. Guru adalah manajer, manajer kelas yang bertugas menjalankan tugas pokok manajemen kelas. Manajemen mengandung 4 kegiatan pokok yaitu Planning (merencanakan), Organizing (mengelola), Actuating (menggerakkan), Controlling (pengawasan).
Dari pengertian diatas, kita bisa menyimpulkan pengelolaan kelas sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar dicapai kondisi optimal sehingga terlaksana kegiatan belajar seperti yang diharapkan.

Beberapa pendekatan dalam pengelolaan kelas
Dalam keseharian, guru dihadapkan pada masalah umum dalam pengelolaan kelas. Masalah tersebut adalah adanya beberapa siswa yang tidak ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, misalnya ngobrol, melamun, diam bahkan tertidur. Masalah ini menunjukkan bahwa siswa belum siap untuk menerima materi dan guru belum berhasil mengkondisikan kelas dan siswa untuk melakukan kegiatan belajar.
Untuk itu, guru harus berusaha untuk menciptakan sebuah harmoni rasa antara siswa dan guru. Guru tidak bisa hanya karena alasan waktu, lantas melupakan tahapan apersepsi. Tahap apersepsi ini berfungsi untuk menyelaraskan kesiapan guru untuk mengajar dan siswa untuk menerima materi baru. Ada guru yang begitu masuk kelas langsung menyuruh siswanya untuk membuka buku, mengeluarkan tugas atau langsung menerangkan materi, tanpa memperhatikan kesiapan siswa untuk menerima materi baru. Pikiran dan hati mereka bisa jadi masih tertambat pada pelajaran atau peristiwa sebelumnya.
Apersepsi bisa berisi kegiatan menanyakan materi jam pelajaran sebelumnya, menanyakan materi pertemuan terakhir, memeriksa kelengkapan attribut atau sekedar bertanya tentang kesan mereka hari itu. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, secara perlahan guru harus mampu membawa pikiran dan rasa mereka untuk memasuki materi inti dengan segala aktivitasnya.
Keterampilan guru dalam apersepsi sangat menentukan kegiatan pembelajaran berikutnya. Bahkan ada pemeo mengatakan bahwa apa yang anda lakukan 5 menit pertama akan menentukan menit-menit berikutnya. Namun saya bukan ahlinya dalam membuat atau merancang apa yang harus dilakukan dalam 5 menit pertama tersebut, sehingga sangat sulit membuat standar baku untuk kegiatan ini.
Secara garis besar, apapun yang dilakukan di 5 menit pertama haruslah bersifat persuasif, mengajak mereka masuk ke dalam kegiatan baru secara alamiah. Tanpa rasa takut, segan, enggan dan malas. Mungkin ada siswa yang jangankan mengikuti pelajaran, untuk menanti detik demi detik menunggu kedatangan guru saja sudah merupakan siksaan bathin, apalagi dengan setumpuk tugas dan materi yang harus diterima di menit-menit berikutnya.
Ini bukan tentang karakter guru! Ini bukan tentang longgarnya menerapkan disiplin, karena karakter guru dan disiplin tidak harus dalam suasana yang mencekam. Suasana mencekam ini sebenarnya masalah kesan yang memang diciptakan sendiri oleh guru karena masalah pendekatan. Pendekatan yang dilakukan guru sebenarnya tidak dilatarbelakangi oleh karakter guru atau kedisiplinan.
Guru yang merasa memiliki karakter keras, judes dan tidak suka basa basi bukan berarti tidak bisa menciptakan suasana yang menyenangkan. Karena alasan itulah kita belajar di fakultas keguruan dan pendidikan.
Beberapa pendekatan dalam pengelolaan kelas:

1. Pendekatan kebebasan
Pendekatan ini dilandasi oleh paradigma kepercayaan, artinya guru mempercayai siswa untuk menjadi subyek dan obyek pembelajaran secara mandiri. Pendekatan ini dilandasi oleh pemahaman guru sebagai fasilitator dan mediator proses kegiatan belajar mengajar.
Melalui pendekatan ini, guru memberi ruang lebih besar kepada siswa untuk menggali pengetahuannya dan kemudian disusun menjadi ilmu yang bisa berguna bagi kehidupan mereka. Pemberian kesempatan yang besar ini membuka terjadinya fleksibilitas dalam penggunaan metode, strategi dan alokasi waktu.
Namun terlepas dari beberapa konsekuensi diatas yang harus diantisipasi guru, pendekatan ini sebenarnya sangat bermanfaat bagi siswa untuk bisa saling memahami, menghormati dan menghargai proses belajar ketimbang hasil.
Namun jangan disalahpahami! Ini adalah pendekatan, bukan pemberian kebebasan dimana anak bisa bebas untuk bertindak yang tidak berhubungan dengan kegiatan pembelajaran. Guru harus bertindak sebagai fasilitator bagi terciptanya kondisi yang kondusif bagi terlaksananya kegiatan belajar mengajar.
Contextual Teaching and learning merupakan salah satu latihan yang sangat cocok bagi guru yang melakukan pendekatan ini karena metode-metode yang ada dalam CTL umumnya berpegang pada pendekatan ini.

2. Pendekatan pengajaran
Pendekatan ini menekankan pada proses pembelajaran sebagai sebuah proses transfer ilmu dan pengetahun dari subyek kepada obyek. Pendekatan ini biasanya dilakukan pada awal pembelajaran atau pembahasan materi baru dimana guru memberikan gambaran tentang subjek yang akan dipelajari dan dibagian akhir ketika guru menjadi mediator bagi siswa dalam memaknai informasi yang telah diperoleh.
Pendekatan ini juga dilalkukan bila guru mempersiapkan siswanya untuk menghadapi ujian yang bersifat hapalan dan ingatan. Pendekatan ini memiliki kelebihan dalam merencanakan alokasi waktu, metode dan sarana yang akan disiapkan dalam pembelajaran.
Pada umumnya, guru lebih memilih metode ini dengan anggapan lebih efektif dan efisien. Waktu yang dibutuhkan tidak banyak dan hasil yang diperoleh bisa maksimal. Padahal, waktu dan hasil sangat tergantung pada tujuan pembelajaran yang akan dicapai, bukan masalah cepat atau lambatnya mteri tersampaikan atau pada tinggi rendahnya nilai yan diperoleh.

3. Pendekatan behavior
Metode ini dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk mengubah tingkah laku peserta didik. Pendekatan ini didasari pada asumsi:
1. Tingkah laku baik dan buruk merupakan hasil proses pembelajaran dan pembiasaan.
2. Di dalam proses belajar terdapat proses psikologis yang fundamental berupa penguatan positif (positive reinforcement), penghapusan (extinction) dan penguatan negatif (negative reinforcement).
Oleh karena itu, maka guru bertindak sebagai pemberi stimulus bagi lahir dan terbentuknya sebuah kebiasaan-kebiasaan baik bagi siswanya.

4. Pendekatan resep
Siswa menjadi pelaku pembelajaran dengan resep atau skenario yang sudah ditetapkan oleh guru. Pendekatan ini bisa dilakukan oleh guru dengan tujuan supaya siswa tidak melenceng dari tujuan pembelajaran.
Guru membuat petunjuk detail yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan siswa sementara guru hanya mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh siswa.

5. Pendekatan kekuasaan
Pendekatan ini adalah sebuah pola untuk menciptakan sebuah proses untuk mengontrol tingkah laku anak didik. Pendekatan ini dilakukan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi terlaksananya proses pembelajaran. Melalui kekuasaan ini guru berusaha untuk menanamkan sikap disiplin, taat aturan dan mampu mengontrol diri mereka ketika melaksanakan proses pembelajaran.

6. Pendekatan ancaman
Siswa berpotensi untuk menganggu proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas, namun guru berwenang untuk mengontrol siswa untuk tetap pada garis tujuan yang hendak dicapai. Mengutarakan ancaman di awal pembelajaran menjadi konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan siswa.

7. Pendekatan emosi dan sosial
Belajar akan menjadi maksimal mencapai hasil bila tercipta dalam situasi dan kondisi yang mendukung. Dalam pendekatan ini, siswa dianggap sebagai manusia yang memiliki sisi psikologis klinis dan konselling sebagai bentuk pengakuan akan eksistensinya. Hubungan emosi yang baik antara guru dengan siswa diharapkan akan memberikan dampak ppositif pada kesiapan mereka dalam menerima pembelajaran.

8. Pendekatan elektis dan pluralistik
Siswa pada dasarnya memiliki potensi untuk kreatif dan inovatif sehingga berbagai pola pendekatan yang telah diutarakan diatas sangat mungkin untuk dilaksanakan dalam satu proses pembelajaran.
Guru pun dituntut untuk mampu kreatif memadukan berbagai pendekatan ini bagi terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi guru untuk merancang, mempersiapkan dan menetapkan pendekatan yang paling cocok untuk dilaksanakan di ruangan kelas.

1 Oktober 2009

Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here