Rabu, 16 Juni 2010

Bijak Memahami Dampak Pornografi pada Anak

Rabu, 16 Juni 2010
Teknologi telah memudahkan video rekaman itu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Sumber :www.koran-jakarta.com
Dari tua, muda, hingga anak -anak. Razia di sekolah-sekolah sampai tindakan menjatuhkan hukuman terhadap siswa yang kedapatan memiliki rekaman video mesum itu pun seperti menjadi tren pasca beredarnya video porno tersebut.

Ini merupakan reaksi untuk membatasi penyebaran video porno pada anak-anak sebagai pihak yang paling dikhawatirkan menjadi korban dampak sistemik dari video mesum tersebut.

Para orang tua pun dibuat panik. Pasalnya, para orang tua juga ingin mengetahui perihal kabar tersebut.

Dikhawatirkan, anak-anak mereka ikut menonton tayangan tersebut, atau mengikuti berita di media massa atau elektronik. Sebab, rekaman video tersebut dapat diunduh langsung lewat Internet di warnet-warnet, atau telepon genggam mereka.

Terutama orang tua yang memiliki anak usia sekolah SD, SLTP, atau SLTA.

Psikolog anak, yang juga pengajar di Univeritas Negeri Jakarta (UNJ), Lara Fridani, melihat karakteristik anak memang cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap apa yang tengah terjadi.

Termasuk terhadap beredarnya tayangan video porno ini. “Semakin banyak publik membicarakan masalah ini, maka anak-anak akan semakin tertarik untuk mencari tahu tentang itu,” katanya.

Bagi anak-anak yang masih balita, penayangan video ini tidak berpengaruh pada mereka.

Sebab, interaksi terhadap lingkungan sekeliling mereka masih sangat terbatas. Namun, tidak bagi anak-anak yang sudah mulai memasuki usia sekolah, terutama pada tingkat akhir SD, SLTP, dan SLTA.

Alih-alih ingin menjauhkan anak dari pornografi , termasuk larangan untuk menonton video porno tersebut, tanpa disadari, orang tua justru memancing rasa keingintahuan anak.

Misalnya dengan lebih sering membicarakan masalah seputar keberadaan video porno tersebut.

Bahkan, lanjut Lara, orang tua menonton sendiri video tersebut, baik melalui VCD, teknologi HP, atau Internet di rumah.

Termasuk dengan terus-menerus menyaksikan berita-berita yang menyajikan atau membahas masalah video tersebut.

“Ketika ingin menjauhkan, orang tua sebaiknya stop untuk membicarakan masalah video tersebut.

Belajar mengambil hikmah dari peristiwa tersebut, dan case close. Berhenti untuk membicarakannya,” tegas Lara.

Peran orang tua, menurut Lara, sangat sentral dalam memberikan pelajaran tentang pornografi ini kepada putraputri mereka.

Berhenti untuk membahas dan membicarakan masalah tersebut merupakan salah satu langkah awal jalan keluarnya.

Terutama bagi mereka yang memiliki putra-putri yang belum bersekolah, masih TK, dan banyak menghabiskan waktu di rumah.

“Jadi sebenarnya adalah bagaimana orang tua bisa mengondisikan suatu keadaan yang memungkinkan untuk meminimalkan cerita-cerita pornografi dan berita-berita pornografi tersebut kepada anak-anak dengan mengalihkannya pada berita- berita yang lebih mendidik.

Salah satu caranya orang tua sebisa mungkin menjadi teladan. Misalnya dengan menanamkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budi pekerti,” tambah Lara.

Peran Guru Bagi anak-anak yang telah masuk lingkungan sekolah, baik SD tingkat akhir, SLTP.

maupun SLTA, tidak hanya peran orang tua yang penting. Peran guru di sekolah pun menjadi sangat penting.

Guru diharapkan bisa mengajarkan nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama kepada siswa didik secara eksplisit.

“Artinya guru tidak lagi hanya meminta anak didik untuk menghafal apa itu nilai-nilai perilaku baik, tapi sudah pada pelaksanaan atau perwujudan dari nilai-nilai baik tersebut,” tegas Lara.

Nilai-nilai ini tidak hanya disampaikan dalam forum belajar di sekolah, tapi di rumah, nilai-nilai ini juga harus dibicarakan dan didiskusikan dengan anak-anak.

Tentunya dalam kondisi yang senyaman mungkin sehingga tidak lagi menjadi sesuatu yang terkesan membosankan bagi anak-anak.

Atau malah anak-anak terkesan didikte.

“Misalnya saja, orang tua mencari referensi di Internet mengenai dampak pornografi terhadap perkembangan otak anak.

Kemudian, hal ini didiskusikan bersama dengan anak-anak sehingga anak dapat menerima alasan-asalan, mengapa mereka harus menjauhi pornografi karena memang ada faktanya.

Pasalnya, anak sekarang tidak bisa hanya dilarang tanpa ada alasan yang logis,” tambah Lara.

Orang tua dan guru juga harus lebih kreatif dalam membuat tema-tema perbincangan anakanak sehingga tidak menjurus pada hal-hal berbau pornografi, termasuk soal video porno.

“Misalnya, orang tua ataupun guru mencari tema bagaimana tata cara pergaulan yang baik.

Menjadi teman yang menyenangkan disertai dengan tip-tipnya,” ujar Lara. Psikolog anak, yang juga Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA), Seto Mulyadi, menilai keberadaan teknologi memang berdampak besar pada anakanak.

Karenanya, para orang tua harus menyikapi keberadaan teknologi ini dengan baik demi perkembangan putra-putri mereka, termasuk dalam peredaran video porno melalui teknologi telepon seluler.

“Anak-anak itu cenderung ingin mencoba. Karena sering menonton, kemudian ada ajakan pihak lain, dan akan menerima begitu saja ajakan tersebut karena memang sudah terbiasa melihat perilaku tersebut,” kata Kak Seto.

Kendati demikian, menurut Kak Seto, orang tua harus tetap mengubah pola komunikasi antara anak dan orang tua.

Pola komunikasi yang dikembangkan tidak lagi layaknya komunikasi antara bos dan anak buahnya, melainkan pola hubungan komunikasi sesama teman.

“Kalau selama ini mendengarnya hanya tiga kali, sekarang mendengarnya tujuh kali.

Anak-anak juga harus dihargai pendapatnya,” ucapnya.

Orang tua harus membiasakan untuk mendiskusikan segala hal kepada putra-putri mereka, termasuk tanggapan-tanggapan anak tentang peredaran video porno.

“Minta tanggapan anak, bagaimana menurut dia (anak).

Kemudian setelah itu diskusikan bersama berdasarkan aturan dan norman-norma yang berlaku,” pungkas Kak Seto.
nik/L-1

Selasa, 15 Juni 2010

Sekolah, Candu atau Kapitalisme Licik?

Oleh: Sucipto Hadi Purnomo
"SCHOOL is dead,'' kata Everett Reimer. Riemer terlalu berlebihan? Boleh
jadi,iya. Sebab, bukankah sekolah belum betul-betul mati. Ia masih berdenyut.
Gedung-gedungnya masih tegak berdiri; guru dan murid-muridnya pun masih
Datang setiap pagi dan pulang menjelang siang. Untuk sementara, abaikan saja dulu soal fungsinya.Bukankah ajakan Ivan Illich tentang gerakan masyarakat tanpa sekolah (deschooling society), pada tataran praksis tak pernah bersambut secara "menggembirakan'', kecuali gemanya pada tingkat wacana."Tapi sekolah hanya membuat sengsara,'' keluh seorang petani desa yang setiap tahun harus menggadaikan sawah atau menjual ternak untuk membayar uang pangkal, SPP,BP3,seragam, sepatu, tas, kaus olahraga, dan seribu satu kebutuhan sekolah,demi anak-anaknya bisa duduk di bangku institusi pendidikan formal itu selama belasan tahun.Seperti orang tua lain, apa saja dia lakukan, asalkan anak-anak bisa ke sekolah. "Kalau perlu, apa pun dijual untuk sekolah,'' demikian bunyi slogan kampanye pendidikan yang dengan enteng, tanpa beban dosa,disuarakan oleh aparat pemerintah.Ketika pesan semacam itu tertelan apa adanya oleh warga petani desa, atau yang satu strata sosial-ekonomi dengannya, lingkaran setan pendidikan dan kemiskinanlah yang sedang terbentuk.
Sekolah, sebagai institusi pendidikan yang sering dianggap paling tersistematika, tidak saja tak mampu mengangkat warga negeri ini dari relung kemiskinan, tetapi justru mempercepat pemiskinan. Sistem pendidikan yang amburadul, telah menyebabkan pemiskinan secara kultural, sedangkan penyelenggaraannya yang tanpa tanggung jawab pemerintah secara memadai terutama dalam hal pendanaan, makin memerosokkan warganya ke dalam palung kemelaratan. Ketika harta telah terkuras untuk mengongkosi anak sekolah, jangan lantas terlalu berharap itu akan menjadi investasi. Setelah lulus, belum pasti anak memperoleh pekerjaan. Kalau pun dapat, belum tentu cucuk. Anak tak sampai putus sekolah atau tinggal kelas saja mungkin sudah dianggap mendingan.Kecuali mimpi-mimpi, dan secuil harapan, tak perlu bertanya apa yang bisa diberikan oleh sekolah. Dua belas tahun hanya untuk duduk, mendengar guru berceramah di depan meja kelas, mencatat hal-hal
yang sebenarnya cukup difotokopi, dan menjadi beo yang terampil menghafal,
serta memilih jawaban yang telah disediakan, rasanya hanya sebuah aktivitas
yang amat panjang nan menjemukan. Sungguh terlalu mahal!Bahkan untuk menjawab
(tepatnya memilih) soal yang telah tersediakan, dengan materi yang telah
berulang-ulang disampaikan di dalam kelas, kehadiran lembaga bimbingan
belajar (tepatnya lembaga bimbingan pengerjaan soal tes) masih didewa-dewakan. Pelacuran pendidikan (meminjam istilah Direktur Primagama Drs Kalis
Purwanto MM) atau kriminalisasi pendidikankah (istilah Triyanto Triwikromo) yang telah terjadi?Cara belajar siswa aktif (CBSA) memang pernah diagungkan sejak sekitar dua dekade lalu. Sayang, sekalipun sebagian dari jiwanya baik, raganyarusak. Itu karena terjadi paradoksal antara filosofi dasar dan praksis pengajarannya. Uji coba penerapan perangkat teknis media kodifikasi dan dekodifikasi Paulo Friere telah bergulir, namun secara tegas pemberlakuan penuh dengan taat asas pada prinsip dasar metodologi konsientisasi dan gagasan humanisasi pendidikan,yang justru menjadi paradigma pokoknya, ditolak.
Membongkar Sekolah Tak berlebihan jika Ivan Illich dengan sangat kritis membongkar sistem pendidikan sekolah dan mendakwanya telah melahirkan degradasi kemanusiaan. Manusia melalui pendidikan formal menjadi makin jinak dan terdomestikasikan. Maka, dengan sangat radikal pula ia menawarkan program bebas sekolah,masyarakat tanpa sekolah.Keluhan terhadap sekolah boleh saja terus menggema.
Kecaman terhadap sekolah boleh saja, dan memang semestinya, selalu
mengumandang. Sekolah sudah teramat sering disesali, tapi pada saat
bersamaan sekaligus juga amat didambakan. Ia boleh salah, tapi harus tetap ada dan dibutuhkan. Dia tak menunjukkan hal lain kecuali ketakberdayaan menghadapikepelikan sebuah sistem yang telah sedemikian mapan dan berkuasa,
sekaligus menjadi ungkapan penghargaan yang berlebihan tinggi pada keberadaaan lembaga yang mewakili sistem tersebut.Sekolah tetap berjaya dan akan selalu benar atau dibenarkan. Para guru, kepala sekolah, pemilik sekolah, dan pejabat pendidikan,lewat aturan dan kebijakan yang mereka buat, bisa saja salah karena melawan hakikat pendidikan. Tetapi sekolah sebagai sistem dan pranata sosial tak pernah salah dan kalah. Yang salah dan memang sering dipersalahkan adalah yang gagal dengan sepenuh hati menjalaninya.Sekolah, dalam konteks seperti itu, tak lebih dan tak kurang sebagai candu. Selalu diburu, karena dengannya anak-anak akan dibawa pada mimpi-mimpi tentang masa depan. Dengannya, anak-anak dibawa untuk
melupakan masa kini, seraya mencerabutkan mereka dari realitas yang
melingkupi. Hingga seorang anak petani yang belajar di sekolah pertanian pun enggan memegang cangkul dan bajak.Padahal, sebagaimana dirumuskan oleh Benjamin Bloom,sekolah semestinya menggarap wilayah taksonomi pendidikan, yakni bertugas mendidik anak agar menjadi insan yang berwatak (ranah afektif),berpengetahuan (ranah kognitif), dan berketerampilan (ranah psikomotorik). Pada tataran konseptual, hal itu telah terumuskan, bahkan pada pembuatan program satuan pelajaran. Namun pada dataran praksis pengajaran, rumusan itu lebih banyak yang mandul peran dan fungsinya.Pada sisi lain, senantiasa terjadi pengisapan terhadap kaum marginal dengan selubung suci yang bernama sekolah. Pada aspek ini sekolah telah memainkan peranan sebagai lembaga kapitalisme yang licik.Pemerintah dan pemilik modal besar adalah pihak yang berada pada sudut manis relasi itu. Sebaliknya, para guru, siswa, dan orang tua berada pada sudut yang pahit. Guru tidak tetap (GTT), guru honorer, atau wiyata bakti merupakan sosok yang berada pada sudut erpahit.Memang tak bisa disangkal, tak semua pemilik sekolah selalu profit oriented. Tak sedikit sekolah, terutama di
kawasan pinggiran kota dan pedesaan, yang didirikan atas dasar kebutuhan
riil
dan jauh dari orientasi keuntungan material. Justru di tengah-tengah
berbagai
keterbatasan, para pendirinya selalu berasaha agar sekolah semacam itu tak
bangkrut atau ditutup pemerintah.Tak semua sekolah menjadi candu ataupun
kapitalisme yang licik. Namun, pesimisme Margaret Mead masih saja mengema,
"Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah.''
(18)-Sucipto Hadi Purnomo, bekas guru ; Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan

Menjadi Pendidik Yang Mencerahkan

Kategori Pendidikan
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 10 Juni 2010
________________________________________
Mengetahui definsi pendidikan mungkin cukup kita ketahui sekali atau sekali-sekali. Tetapi, menyadari peranan kita sebagai pendidik, butuh kita perbarui setiap kali. Sebab, jika tidak, segera posisi kita bergeser, dari pencipta dalam proses pendidikan menjadi sekedar alat. Ini karena jiwa kita akan sulit mengembangkan proses-proses kreatif atau reflektif dengan hanya mengetahui saja, menjalani saja, atau mengetahui dan menjalani saja. Jiwa kita butuh digunakan untuk menyadari. Kesadaranlah yang mengubah tindakan. Mirip seperti ibadah, katakanlah sholat atau puasa. Mestinya, setiap kali mau melakukannya, butuh kesadaran baru. Sebab kalau tidak, jiwa dan raga kita hanya akan menjadi buruh kewajiban, bukan menjadi kreator proses pencerahan. Karena itu, orang shalat pun masih dibilang celaka bila jiwanya alpa. Dua Kesadaran Dalam Mendidik
Bila melihat berbagai penjelasan tentang pendidikan, ada sedikitnya dua kesadaran yang perlu kita ciptakan setiap kali mau pergi mengajar. Pertama, kita perlu menyadari pendidik itu mengeluarkan apa yang dari dalam. Ini sesuai dengan arti education sendiri, yaitu e = keluar (out) dan ducare = mengarahkan atau membimbing.

Pada diri setiap siswa itu pasti ada potensi yang tersembunyi. Ibarat tambang emas, emasnya sendiri pasti tertimbun tanah, bebatuan dan pepohonan. Untuk mengeluarkan emas, para penambang punya tradisi membersihkan jalan atau lingkaran tambang lebih dulu, baru kemudian menambang.

Kedua, pendidikan itu menyalakan cahaya. Ibarat energi dalam listrik, energi itu tidak mungkin menghasilkan cahaya dengan hanya dirinya. Untuk menjadi cahaya, perlu ada pembangkit yang mengolah energi dengan menciptakan gesekan, seperti korek api.

Dua kesadaran itulah yang kerapkali menjadi pegangan para tokoh pendidikan yang hasilnya sudah teruji oleh kenyataan. Bagi mereka, ukuran lembaga pendidikan itu bukan wah iklannya, wah administrasinya atau wah kiprahnya di pamerah. Ukurannya adalah, alumninya pada jadi apa di masyarakat?

Kalau alumninya banyak yang bisa mengeluarkan potensi di dalam dirinya dan bisa mengeluarkan cahaya bagi orang lain, berarti lembaga pendidikan atau para pendidiknya di situ OK. Pendidikan di situ berhasil mengejewentahkan esensi pendidikan. Tapi kalau ukurannya baru berapa yang masuk PT negeri, studi ke luar negeri, ranking UAN, dan semisalnya, standarnya dianggap masih rendah. Pengujinya masih berstandarkan tulisan, belum kenyataan. Lebih-lebih kalau menirukan keluhan wong cilik yang sering kita dengar: “Lha wong yang gitu-gitu banyak yang bisa dibayar kok, ngapaian dijadikan kebanggaan?”

Jangan Menjadi Birokrat Kurikulum
Tanpa pembaruan kesadaran, bisa-bisa praktek kita malah membebani siswa, bukan mencerahkan mereka. Mungkin, karena semakin banyak jumlah pendidik yang prakteknya membebani siswanya, di kalangan pendidik sendiri muncul istilah Birokrat Kurikulum sebagai kritik.

Birokrat Kurikulum (BK) adalah sindirian untuk menyebut pendidik yang cara berpikirnya menganut paham “Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?”, mirip seperti budaya birokrasi kita zaman dulu—ruwetnya minta ampun tetapi ringkihnya juga minta ampun. BK lebih kerap tampil sebagai sosok yang otaknya ruwet oleh prosedur, metode, dan teknik, sementara visinya, keyakinanya, dan spiritnya miris. BK tidak mau meniru tradisi para penambang yang mendapatkan cara-cara menambang dari alam dengan membersihkan lebih dahulu.

Sebagian pendidik kerap melakukan pengeboran paksa untuk bisa memasukkan materi kurikulum, tanpa berupa membersihkan areal tambang. Padahal, banyak fakta mengungkap bahwa pendidikan di dunia yang lebih banyak berhasil adalah yang menomersatukan pembersihan konsep diri yang kurang atau yang salah, sebelum kurikulum atau buku paket. BK juga kerap menggunakan senjata indoktrinasi sebagai senjata kesayangan, dengan mengingkari fakta kemanusiaan para murid. Mereka dipaksa harus menjadi manusia berinsting malaikat (positifnya) dengan disuruh membuang kejelekannya.

Padahal, hukum cahaya mengatakan bahwa cahaya itu baru keluar setelah ada gesekan plus dan minus dengan cara yang terdidik. Indoktrinasi mempersempit ruang untuk learning, eksperimentasi, dan eksplorasi. Akibatnya apa? Seperti yang sering kita saksikan, pendidikan lebih sering melahirkan orang yang berwacana tentang kenyataan atau melakukan judgment terhadap kenyataan, tetapi kurang mengeluarkan cahaya. Pendidikan lebih pinter menghasilkan para petarung perdebatan ketimbang penggagas dialog, sinergi, dan kebersamaan.

Itulah kenapa pada dinamika lain ada fakta yang membuktikan bahwa orang-orang yang telah berhasil mengeluarkan cahayanya itu justru diawali dengan keberaniannya menerobos, menentang, atau menafsirkan lain SOP pendidikan melalui berbagai gesekan, internally and externally.

Arah Konsentrasi Guru
Berdasarkan praktek yang sudah kita jalankan sebagai pendidik, sebetulanya ada alat sederhana untuk mengaudit seberapa jauh kita sanggup memerankan fungsi pendidik yang searah dengan esensi pendidikan. Alat sederhana itu kita sebut saja arah konsentrasi. Kemana konsentrasi itu kita arahkan selama ini, akan bisa kita jadikan ukuran apakah selama ini kita hanya pendidik BK atau pendidik yang mendidik. Secara umum, konsentrasi pendidik dapat dikelompokkan seperti berikut ini:
Pertama, ada guru yang sebagian besar konsentrasinya mengarah pada pengembangan dan kepentingan murid atau lembaga pendidikan. Mereka mengembangkan dirinya untuk bisa mengembangkan siswanya. Mereka mendefinisikan muridnya sebagai calon aset pembangunan yang luar biasa, bukan sebagai sebagai pengguna jasa.

Menurut sunnatullahnya, guru seperti inilah yang kerap menghasilkan output yang bagus. Guru seperti ini yang biasanya mampu menghasilkan murid-murid yang jauh lebih pintar dari dirinya. Guru seperti inilah yang murid-muridnya tetap tidak mampu merasa lebih unggul dari gurunya, walau pun sudah sekolah kemana-mana.

Kedua, ada guru yang sebagian konsentrasinya mengarah pada kepentingan dirinya, pangkatnya, kariernya, politiknya, dan seterusnya. Banyak kampus atau sekolah yang murid-muridnya ditinggal oleh dosennya ke kota untuk mengejar beasiswa atau gelar akademik yang lebih tinggi supaya nanti bisa naik pangkat.

Sejauh itu diatur oleh sistem dan komitmen untuk mengembangkan lembaga dan siswa dalam jangka panjangnya, itu sangat bagus. Tapi, kalau hanya untuk kepentingan karier pribadi semata, atau hanya untuk pindah ke tempat yang lebih enak, hubungan kita dengan siswa menjadi hubungan manipulatif.

Ketiga, ada guru yang mengarahkan sebagian besar konsentrasinya untuk mengurusi pekerjaan sebagai pengajar. Meminjam ungkapannya Edison, guru seperti ini tenggelam dalam kesibukan jabatan, tetapi tidak menyadari apa tujuan dari kesibukannya. Yang penting mengajar, absen beres, honor beres, dan selesai. Jika kita terlalu sibuk mengurusi hal-hal teknis, tanpa didukung dengan visi dan imajinasi, serta keyakinan, kita akan sulit berkembang dari kenyataan. Kenyataan akan mengubur kita, mirip seperti truk yang berjalan di atas tanah berlumpur. Langkah kita terpendam oleh lumpur kenyataan.

Keempat, ada guru yang mengarahkan sebagian besar konsentrasinya untuk bisa selamat dari tuntutan sistem yang makin mengikat. Biasanya, ini terjadi di sekolah yang berbiaya tinggi. Tuntutan kepada guru tidak saja datang dari kepala sekolah, tapi juga dari yayasan, wali murid, kepsek, murid, media, dan lain-lain. Bagi guru yang kurang waspada (alert), konsentrasinya bisa salah arah. Konsentrasi yang untuk pengembangan murid, supaya potensinya keluar atau supaya cahayanya keluar, menjadi berkurang. Konsentrasinya terkuras untuk kepentingan orang dewasa yang menjadi stakeholder dan shareholder sekolah.

Semua guru memang harus memikirkan muridnya, dirinya, keluarganya, politiknya, pekerjaannya, atau lembaganya. Tetapi yang kemudian membedakan adalah kesadaran manakah yang paling mendominan. Sejauh bukan didominasi oleh kesadaran untuk meng-educate murid, sepertinya kita telah memilih jalan yang salah. Sebelum kesalahannya jauh, mari kita putar arah.

Merealisasikan Kesadaran
Untuk bisa menjadi pendidik yang mencerahkan, pastinya tidak cukup hanya berhenti di kesadaran. Harus kita lanjutkan pada terbentuknya paradigma dan pendekatan yang lebih mencerahkan terhadap berbagai isu-isu pendidikan yang sehari-hari kita hadapi.
Jangan Minta Digugu Dan Ditiru
Ketika murid-murid kita saat ini nanti menjadi dewasa, kita mungkin sudah tua atau meninggal dunia. Bayangkan jika misalnya kita meminta mereka untuk menggugu dan meniru kita, apa jadinya? Mereka mungkin menjadi orang yang terbelakang di zamannya karena referensinya kita yang sudah tua. So, jangan meminta digugu dan ditiru.

Ungkapan itu hanya perlu kita pahami sebagai motivasi pribadi untuk terus berusaha menjadi orang yang kredibel dan bisa dipercaya secara komitmen dan moral. Atau, kita terima sebagai penghargaan sosial yang perlu kita hargai. Selebihnya, hubungan kita dengan murid adalah hubungan yang membuka, mendorong, menyalakan, atau mengeluarkan (mencerahkan). Dan yang lebih penting lagi, kita memaafkan masyarakat, pemerintah, dan yayasan yang masih kalah dengan negera Thailand, Philipine, Malaysia, Vietnam, dan Brunei dalam menggaji guru. Sebab, jika tidak memaafkan, jiwa ini akan terbebani dan sangat mungkin kita menjadi pendidik yang membebani. Semoga bermanfaat.

Kamis, 10 Juni 2010

Sepatu Berusia 5.500 Tahun Ditemukan

VIVAnews - Sepatu kulit tertua ditemukan di pegunungan Armenia, umurnya diperkirakan sekitar 5.500 tahun. Alas kakinya terbuat dari kulit, menggunakan tali untuk mengikat bagian depan dan belakang.

Seperti diberitakan Associated Press, Kamis 10 Juni 2010, peneliti melaporkan hal itu pada sebuah jurnal di perpustakaan umum ilmu pengetahuan.

Sepatu untuk kaki kanan itu ditemukan di dalam sebuah gua. Ketika ditemukan, di dalam sepatu itu sudah penuh dengan rumput.

Ron Pinhasi arkeolog dari University College Cork di Cork, Irlandia, memimpin tim penelitian itu. Dia merasa sangat beruntung menemukan sepatu itu. Karena, kata dia, biasanya mereka hanya menemukan pot rusak.

Dengan ditemukannya sepatu seperti itu, maka Pinhasi dan peneliti memiliki informasi mengenai kegiatan sehari-hari orang-orang kuno.

Setidaknya, ada gambaran mengenai bagaimana kehidupan orang kuno masa lalu. Tidak hanya tentang apa yang mereka makan, apa yang mereka lakukan, tetapi juga apa yang mereka kenakan.

Sebelumnya, sepatu kulit tertua ditemukan di Eropa atau Asia, yang dikenal dengan Otzi, "manusia es" yang ditemukan membeku di Alpen beberapa tahun yang lalu dan sekarang diawetkan di Italia.

Otzi diperkirakan hidup pada 5.375 dan 5.128 tahun yang lalu, beberapa ratus tahun lebih baru daripada sepatu Armenia. Sepatu Otzi terbuat dari kulit rusa dan beruang yang disatukan dengan tali kulit.

"Sepatu Armenia tampaknya terbuat dari kulit sapi," kata Pinhasi. (umi)

Minggu, 06 Juni 2010

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH


REPUBLIK INDONESIA


TENTANG


Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here