Minggu, 25 Oktober 2009

BEBERAPA MACAM TINGKAT BERPIKIR

Dalam setiap proses pembelajaran, setiap guru harus menentukan dan menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut harus dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan guru dalam menyampaikan materi dan kemampuan siswa dalam menyerap dan memaknai ilmu yang mereka peroleh.
Guru harus menentukan dan menetapkan tujuan karena tujuan tersebut akan menjadi indikator yang terukur untuk mengetahui keberhasilannya dalam mengajar. Sehingga dalam membuat tujuan, guru memang harus berusaha untuk menentukan secara tepat , baik secara redaksional maupun esensinya. Kesalahan menetapkan tujuan akan berdampak pada kesalahan menetapkan metode dan strategi pembelajaran. Dan akhirnya, jangan heran bila hasil ulangan harian atau ulangan umum hasil siswa yang nampak akan sangat jauh dari tujuan yang hendak dicapai.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan berbicara tentang cara menetapkan tujuan pembelajaran. Tulisan ini hanya akan membahas tentang beberapa macam tingkat berpikir siswa yang bisa dilatih secara simultan dan pada akhirnya menjadi salah satu faktor penting bagi guru untuk menetapkan tujuan dan alat test yang tepat untuk siswa. Tidak jarang guru merasa dirinya gagal mengajar karena hasil tes-nya tidak menghasilkan nilai yang sesuai dengan harapan. Atau bisa juga ada guru yang merasa telah selesai menyelesaikan tugasnya karena nilai ulangan siswanya telah mencapai KKM yang ditetapkan.

Sebelum menetapkan tujuan dari suatu kegiatan belajar, guru harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah :
Tingkat kesulitan. Dalam membuat soal tes untuk mengukur tingkat pemahaman siswa, guru bisa melakukan dua hal, pertama membuat soal yang sangat mudah sehingga apabila nilai menjadi alat ukur maka cara ini adalah paling mungkin untuk dilakukan sementara mungkin ada guru yang membuat soal sangat sulit namun bukan karena memperhatikan tingkat berpikir siswa tapi semata hanya untuk membuktikan kepada siswa bahwa untuk mendapatkan nilai baik dari dirinya, maka siswa harus berjuang lebih keras. Selama itu berada pada koridor Standar Kompetensi maka itu bisa dipertimbangkan, namun jika dengan cara memberikan tingkat kesulitan yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, maka itu adalah sebuah ke-dzolim-an.
Tingkat kemampuan berpikir. Sering guru kurang memahami tingkatan berpikir siswa sehingga dalam menentukan metode, strategi dan tujuan yang hendak dicapai kurang memperhitungkan faktor yang satu ini. ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru ketika ingin memahami tahap berpikir siswa, diantaranya adalah kelompok usia dan tingkat perkembangan psikologis siswa itu sendiri. Namun secara umum, tahapan berpikir siswa akan kita pelajari dalam tulisan kali ini.

TARAF BERPIKIR
Selama ini, kita sebagai guru hanya memperhatikan kemampuan siswa dalam menerima materi. Hal ini sangat nampak pada metode dan strategi pembelajaran yang kemudian diikuti dengan jenis tes yang dilakukan. Metode pembelajaran masih didominasi oleh metode ceramah dengan penugasan berupa PR mengerjakan soal pilihan ganda dan kemudian dilanjutkan dengan soal yang meminta siswa menyebutkan kembali materi yang telah dipelajarinya.
Secara teori, pengetahuan dapat ditinjau dari dua jenis, pertama adalah pengetahuan faktual (factual kowledge) yang berisi beberapa informasi fakta seperti nama tokoh, nama ibukota, sejumlah rumus atau waktu peristiwa tertentu. Kedua, adalah pengetahuan tahapan perilaku seseorang (procedural knowledge), yaitu suatu proses belajar yang mempergunakan tahapan berpikir tertentu. Seorang siswa harus mampu mengingat pengetahuan faktual yang dipelajarinya kemudian menyusunnya kembali untuk menjadikan bahan dalam penyelesaian masalah. Pengetahuan ini hanya akan bisa dikembangkan oleh guru dengan cara menanamkan kemampuan untuk berpikir secara tepat dan berdaya guna untuk memecahkan masalah (Ad.Rooijakkers, Mengajar Dengan Sukses; 1985).
Untuk itu maka guru wajib mengetahui macam tingkat berpikir untuk kemudian melakukan identifikasi ciri dari masing-masing tingkat berpikir dan kemudian melakukan sebuah proses melatih anak untuk mampu berpikir sesuai dengan tingkat berpikir dan perkembangan siswa itu sendiri. Hal penting sekali dipahami guru supaya dalam setiap pembelajaran, guru bisa memaksimalkan kemampuan berpikir siswa sampai pada taraf yang paling tinggi, sehingga ilmu atau fakta yang mereka dapatkan secara parsial atau terpisah dapat dijadikan bahan masukan dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari secara komprehensif dan terintegrasi.

Taraf 1: Berpikir reseptif atau menerima (Reseption Learning)
Seorang guru menerangkan bahwa dalam suhu 0 derajat celcius, air akan berubah menjadi es. Pada saat guru menerangkan hal tersebut, siswa akan menerima dan menyerap informasi yang diberikan kepada mereka dan akan mereka ingat kembali bila dievaluasi ada soal yang menanyakan, “pada suhu berapa air akan berubah menjadi es”.
Tingkat berpikir siswa seperti ini disebut sebagai tingkat berpikir reseptif atau menerima informasi. Sifat dari informasi seperti ini adalah materi yang dianggap telah jadi, matang dan dinilai final sehingga tidak merangsang siswa untuk berpikir dan bertanya tentang penyebab hal tersebut bisa terjadi.
Kalaupun ada yang menerangkan tentang alasan atau penyebab air berubah menjadi es ketika berada dalam suhu 0 derajat celcius, maka itu buka merupakan hasil berpikir siswa namun merupakan fakta yang diajarkan oleh guru. Disini guru berperan dominan dan memegang kendali atas proses belajar mengajar dan memegang otoritas kebenaran atas fakta tersebut.
Ada contoh yang cukup menggelikan untuk menerangkan bagaimana posisi guru dalam memegang otoritas kebenaran sebuah ilmu. Ketika seluruh ilmuwan astronomi menetapkan bahwa planet Pluto bukanlah kategori planet seperti yang kita kenal selama ini. Pluto sekarang dianggap benda langit karena lintasannya berbeda dengan kategori planet. Semua dunia sudah mengetahui hal ini, namun ketika saya membaca Koran Pikiran Rakyat, ada seorang wartawan yang menanyakan terhadap seorang guru tentang hal ini dan bagaimana guru tersebut menyikapinya, guru tersebut mengatakan bahwa saat ini dia masih mengajarkan bahwa jumlah planet ada 9 termasuk Pluto karena belum mendapatkan petunjuk dari dinas pendidikan untuk merubahnya. Bayangkan!

Taraf 2 : Komprehensi (comprehensive Learning)
Nama lain dari tingkat berpikir ini adalah concept learning, yaitu kemampuan siswa dalam menggabungkan beberapa fakta yang diketahuinya untuk membentuk sebuah konsep utuh dan terhubung satu sama lainnya. Proses berpikir ini akan melatih siswa untuk mencoba menghubungkan berbagai teori dan fakta yang menjadi sebuah kumpulan teori yang memiliki makna dan bermanfaat bagi dirinya pada saat dibutuhkan.
Tahap berpikir ini sebenarnya bisa dilatih dengan membiasakan siswa untuk membuat catatann dalam bentuk mind mapping dimana catatan ini keluar dari kebiasaan kita pada umumnya. Selama ini kita mencatat dengan konsep outline dimana materi dicatat secara runut ke bawah. Catatan metode ini memang terlihat lebih rapi namun kita sulit untuk menggabungkannya dalam sebuah konsep yang terintegrasi. Catatan outline cenderung membuat kita harus mengingat materi sementara mind mapping menuntut kita untuk menghubungkan materi dari mulai gagasan pokok cabang utama dan ranting.
Metode ini kemudian diikuti oleh metode pembelajaran yang merangsang siswa untuk mempergunakan teori yang diperolehnya dengan memberikan berbagai pertanyaan yang bersifat problematika kehidupan sehari-hari lalu siswa ditugaskan untuk menyelesaikannya menurut teori yang mereka peroleh. Dalam proses ini sangat dimungkinkan untuk ditemukan berbagai alternatif pemecahan masalah, sehingga guru berfungsi untuk membimbing dan memfasilitasi proses pembelajaran.

Taraf 3 : Aplikasi (Aplication Learning)
Pada tahap ini, siswa harus mampu menerapkan hal yang telah dipelajarinya. Pada taraf ini siswa harus dapat merumuskan kembali sesuatu berdasarkan pengertian yang telah diajarkan. Misalnya setelah mempelajari materi tentang listrik, maka siswa ditugaskan untuk dapat menghasilkan sebuah benda yang berhubungan dengan listrik dan dapat dimanfatkan dalam kehidupan sehari-hari. Atau dalam ilmu sosial misalnya setelah mempelajari penyimpangan sosial, maka siswa mendapatkan tugas untuk melakukan pengamatan melalui media massa tentang beberapa contoh, penyebab dan solusi dari beberapa tindaka penyimpangan sosial.
Pada prinsipnya, dalam tahap berpikir aplikasi, siswa dituntut untuk mampu melakukan sesuatu hal yang berisi membandingkan, menghubungkan, merumuskan dan menggambarkan.

Taraf 4 : Analisa dan Sintesa (Analysis and Synthesis)
Pada taraf ini siswa harus dapat menerangkan hubungan antara berbagai hal yang diajarkan. Hal tersebut dapat dilakukan bila siswa telah diajak berlatih untuk berpikir menganalisa dan menerangkan kaitan-kaitan yang mungkin dari hal yang telah diajarkan dan membuat kombinasi antara unsur-unsur terpisah menjadi satu kesatuan.
Misalnya, bagaimana siswa diterangkan mengenai alasan Jakarta menjadi ibu kota negara Indonesia. Mengapa hal tersebut tidak dilakukan terhadap kota Jayapura. Mengapa kota Jayapura tidak tidak dijadikan ibu kota negara ditinjau dari berbagai aspek seperti sarana komunikasi, transportasi, akses terhadap informasi dan lain sebagainya. Kemudian siswa diharuskan melakukan sintesa dengan menggabungkan hal-hal tersebut sehingga menjadi sebuah kesimpulan mengapa sebuah kota dapat dijadikan ibukota.

Taraf 5 : Evaluasi (Evaluation Learning)
Pada tahap terakhir ini, siswa diajarkan bagaimana berpikir kreatif untuk mencari pemecahan terhadap suatu masalah. Hal penting dalam tahap berpikir ini adalah timbulnya pengetahuan baru yang diperoleh siswa secara mandiri. Misalnya dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa diberikan sebuah masalah seperti bagaimana cara mengatasi maraknya korupsi di Indonesia. Tentunya, untuk menjawab itu, siswa diwajibkan untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti, apa itu korupsi, mengapa korupsi menjadi sebuah tindakan yang dianggap kriminal tingkat tinggi, mengapa orang Indonesia cenderung melakukan tindakan korupsi dan bagaimana mengatasi hal tersebut sampai pada tahap apa tindakan yang harus mulai ditinggalkan karena mendidik siswa untuk cenderung “korupsi”.
Sementara komposisi atau proporsi zona berpikir dan belajar dapat digambarkan sebagai berikut:










Demikian uraian singkat tentang tahap berpikir yang bisa diajarkan oleh guru kepada siswa dengan harapan siswa tidak hanya bertindak sebagai objek dalam kegiatan belajar mengajar, namun juga mampu menjadi subjek dalam kegiatan tersebut dengan menjadikan dirinya sebagai sumber ilmu itu sendiri.

Tentunya, pelatihan tahapan berpikir ini tetap harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan berpikir siswa sesuai usia dan perkembangan psikologis. Hal lain yang harus diperhatikan adalah komposisi perbandingan tahapan berpikir disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan. Sekolah dasar akan didominasi oleh tahap berpikir reseptif sementara pendidikan tinggi akan didominasi oleh tahap berpikir evaluasi.










Masalah selanjutnya adalah, taraf berpikir mana sebaiknya dituntut oleh pengajar. Ini memang tidak mudah dijawab, karena hal itu tergantung dari banyak faktor, antara lain:

1. Pelajaran yang diberikan. Bahan pelajaran tertentu bisa akan lebih menuntut berpikir analisa dibandingkan dengan materi lain.

2. Jenis pendidikan yang diberikan. Misalnya antara sekolah formal dengan kursus akan memiliki komposisi taraf berpikir yang berbeda.

Tujuan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Misalnya tujuan lembaga sekolah yang menekankan pada kemampuan siswa untuk mampu memperoleh nilai ujian yang tinggi akan lebih didominasi oleh taraf berpikir tingkat menerima saja, sementara sekolah yang berorientasi pada kemampuan sikap dan kemandirian akan didominasi oleh taraf yang lebih tinggi.

4. Pihak pengajar yang bersangkutan. Paradigma atau sudut pandang pengajar akan sangat mempengaruhi tujuan kegiatan belajar mengajar. (Ad.Rooijakkers, Mengajar Dengan Sukses; 1985).

Bandung, Oktober 2009


Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here