Sabtu, 27 Juni 2009

Kekerasan, Buah Kegagalan Pendidikan?

Daniel Gobey (2004) mengatakan pada awal 1960-an, banyak orang yakini kebenaran gagasan Konrad Lorenz, seorang ethiolog (pakar "psikologi" binatang) asal Jerman, yang menyebutkan bahwa kekerasan, tak ubahnya rasa lapar, adalah naluri manusia sebagai bagian dari kodratnya yang jasmaniah. Di dasawarsa berikutnya, tahun 1970-an, orang lebih menaruh perhatian pada apa yang kemudian dinamai sebagi "lingkaran setan" kekerasan.

Menurut mereka, kekerasan seolah telah mengental lebih dari sekedar naluri yang nature, dan menjadi culture, budaya kekerasan. Kalau pengamatan itu benar, artinya perlahan-lahan hubungan antar-manusia di abad ini tak hanya mengalami eskalasi kekerasan secara akumulatif, tapi juga sofistikasi, pencanggihan, kekerasan. Meminjam pengalaman pahit masyarakat miskin Amerika Selatan, Dom Helder Camara, memfatwakan betapa suatu kekerasan tak pernah berdiri

sendiri. Ia lahir menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan terdahulu yang telah berjalin-kelindan. Awalnya kekerasan lahir dibidani oleh egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok yang rakus.

Berikutnya kekerasan pun muncul sebagai jawaban dari para pejuang keadilan yang mengangkat senjata untuk menumbangkan para penguasa lalim itu. Kekerasan akan kembali muncul sebagai satu-satunya jalan berpikir yang ada dari para penguasa untuk menumpas bentuk kekerasan kedua. Begitulah seterusnya, hingga nyaris tak henti-hentinya darah mengalir untuk menyuburkan dendam yang tak kunjung menuntas.

Dari mana lingkaran setan ini muncul? Bagaimana mungkin ia muncul? Mungkinkah pula ia berujung? Semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan penting, yang justru kerap terlalu sulit dijawab. Tapi yang jelas, orang mulai mencatumkan derajat kekerasan yang berlaku dalam suatu masyarakat

sebagai salah satu indikator evaluasi transformasi sosial-budaya yang tengah terjadi di dalamnya. Ia akan saling terkait dengan integrasi sosial, keadilan, hak-hak asasi manusia, kemajuan ekonomi, dan sebagainya ketika dimunculkan sebuah pertanyaan baru: sejauh mana transformasi

Seperti dikatakan Magnis Suseno (2003) Dialog dapat kita mulai dari lingkungan anak-anak . Termasuk dilingkungan sekolah dasar.Hak kebebasan beragama dalam kaitan masalah pelajaran agama berarti, orangtualah yang berhak menentukan apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama.

Namun, hak asasi orangtua itu juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Misalnya: sekolah Katolik (yang saya pakai sebagai contoh selanjutnya) berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya menawarkan agama Islam. Tetapi yang pertama tidak berhak mewajibkan murid-muridnya yang bukan Katolik ikut pelajaran agama Katolik. Begitu pula yang kedua, tidak berhak mewajibkan murid bukan Islam ikut pelajaran Islam.

Jadi, pluralisme tidak hanya berlaku di tingkat nasional. Bila sekolah swasta beraliran agama tertentu memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme.

Sekolah yang berlandaskan agama pada dasarnya membatasi diri pada anak-anak seagama. Dengan demikian, masalah pelajaran agama hilang. Tetapi, pendidikan Katolik di negara ini, sebagaimana dipelopori almarhum Rama van Lith, juga di seluruh dunia, tidak pernah sesempit itu. Sekolah-sekolah Katolik selalu terbuka bagi anak dari semua agama, bukan untuk membuat mereka Katolik, tetapi karena keyakinan umat Katolik menyelenggarakan pendidikan bermutu yang oleh orangtua maupun kemudian oleh mereka yang melalui sekolah-sekolah itu diingat dengan bangga.

Selalu diusahakan, selain pelajaran prima dalam masing-masing mata pelajaran, pendidikan agar anak menjadi manusia bermutu, cerdas, terbuka, berkarakter, mampu bertanggung jawab, berwawasan keadilan, berwawasan kebudayaan luas. Kualitas sebagai manusia utuh itu justru akan berkembang bila orientasi keagamaan anak, dan orangtuanya (hubungan kepercayaan antara sekolah dan orangtua selalu dipentingkan) dihormati.

Kepada anak-anak yang oleh orangtua mereka tidak dikehendaki mengikuti pelajaran agama Katolik, ada dua kemungkinan. Mereka ditawari pelajaran etika atau budi pekerti. Tetapi, sebenarnya lebih baik lagi bila diberi pelajaran dalam agama mereka sendiri. Argumen "masak sekolah Katolik memberi pelajaran agama Islam (misalnya)!" saya anggap sah, tetapi picik. Kalau sekolah mau memberi pendidikan utuh dan untuk itu menganggap pelajaran agama penting, apa tidak lebih sesuai bila anak-anak beragama lain-asal jumlah cukup agar sekolah tidak dibebani biaya tinggi-ditawari pelajaran dalam agama-agama masing-masing?

Di sini selalu diajukan keberatan: Apakah pelajaran agama lain tidak akan menjadi "kuda Troya"? Sesudah pelajaran agama lain, rumah ibadah harus disediakan, guru agama mungkin picik lalu malah merusak suasana rukun di antara murid berbeda agama? Adalah kekhawatiran "kuda Troya" itulah yang ada di belakang keberatan sekolah swasta untuk menyediakan pelajaran agama lain.

Kekhawatiran itu, sayang, tidak tanpa alasan. Maka bila diharapkan pelajaran agama lain diberikan, misalnya di sekolah Katolik, harus jelas, kekhasan sekolah itu sebagai sekolah Katolik tidak diganggu. Paling penting: Hak sekolah untuk memilih sendiri guru-gurunya, termasuk semua guru agama harus dijamin. Memang tak dapat ditolerir sama sekali bahwa instansi luar bisa memasukkan guru agama melawan kehendak sekolah itu. Sekolah jelas berhak memastikan bahwa guru yang mengajar agama berwawasan inklusif, humanis, dan memenuhi syarat kecerdasan intelektual yang memadai

Setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan hakekatnya

yaitu yang bersifat: (1) Theisme (Tuhan yang berpribadi yang transenden dan memberi wahyu seperti dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam), (2) Monisme (yang tidak menerima Tuhan yang transenden melainkan dasar keberadaan yang imanen seperti dalam agama-agama Hindu dan Tao); dan (3) non-Theisme (tidak mempercayai tuhan yang 'ada' dan transenden seperti dalam Buddhisme ).
Dialog agama umumnya mengabaikan perbedaan ini demi tujuan kerukunan.

Sabtu, 20 Juni 2009

PENDIDIKAN SEX DI INDONESIA

Sex di Indonesia masih sangat tabu, pendidikannya pun masih sangat minim, belum semua sekolah di Indonesia memasukan kurikulum tentang sex, sekalipun ada, itupun hanya sekolah-sekolah yang sudah ter-akreditasi baik, atau dengan cara lewat jalur mata pelajaran Biologi. Padahal, dengan pendidikan sex akan banyak segi-segi positifnya seperti jumlah penduduk, sex bebas, dan mengurangi angka kelahiran yang meledak. Dan juga efek-efek tidak langsung seperti Narkotika, broken home, anak jalanan, dll.
Di Thailand, pendidikan sex dimulai sejak tahun 2000. Pendidikan sex formal dimulai sejak Sekolah Dasar, namun pendidikan sex di sini masih melalui jalur mata pelajaran Biologi. Beberapa sekolah sudah memasukan sex education sebagai satu mata pelajaran. Anak-anak berusia 12 tahun seudah dibolehkan oleh pemerintah untuk menerima pendidikan sex dari orang tua dan sekolah, karena peran orang tua dan sekolah pada umur ini sangat penting.
Pemerintah Thailand juga sudah mulai menyediakan informasi mengenai pendidikan sex melalui media internet, dan tentunya dalam bahasa Thailand.
Di Vietnam, Negara ini sudah mulai blak-blakan dalam pendidikan sex melalui jalu formal, karena populasi penduduknya yang mendadak tinggi. Di Vietnam ini, peran keluarga dan orang tua sangat penting sekali karena anak-anak dibawah umur 13 tahun menghabiskan banyak waktu di keluarga dari pada di sekolah. Barulah pada umur 13 tahun atau pada tingkat SMP, pendidikan sex mulai diterapkan, namun masih lewat jalur mata pelajaran Biologi, sama seperti di Indonesia.
Pendidikan sex di Vietnam masih belum cukup, karena anak-anak yang rata-rata umur 17 tahun masih banyak melakukan hubungan sex diluar nikah.
Di India, sex dianggap sebagai kegiatan yang sangat suci, tabu diketahui anak-anak dibawah umur. Sehingga tidak segampang itu India mengijinkan anak-anak mendapatkan pendidikan sex dibawah umur.
Sama seperti di Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara lainnya, di India pendidikan sex baru didapatkan pada umur 14 tahun atau pada saat SMP, dan pendidikan sex disini masih melalui jalur mata pelajaran biologi. Itupun belum sepenuhnya, karena selebihnya anak-anak mencari informasi mengenai sex melalui buku-buku dan jalur internet.
Sayangnya, perubahan di Negara ini belum terlihat. Populasi penduduknya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Cina adalah Negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Tragedy mengenaskan pernah terjadi di sini, bayi perempuan yang baru lahir terpaksa dibunuh, dengan cara disekap dalam ruangan yang disebut dying room. Karena sempat ada anggapan bahwa anak perempuan tidak dibutuhkan karena tidak bisa membantu keluarga bekerja dan/atau menafkahi keluarga. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi mengenai keluarga dan sex.
Baru pada tahun 2004, pendidikan sex mulai diterapkan di Cina. Pendidikan sex di Cina dimulai pada usia 11 tahun. Tidak seperti di Negara-negara Asia Tenggara dan di India, di Cina pendidikan sex dimulai pada usia 11 tahun dan sudah menjadi suatu mata pelajaran. Selain itu, pemerintah juga ikut andil dalam memberikan pendidikan sex dengan cara memberikan penyuluhan dan seminar-seminar.
Rata-rata di Negara-negara Asia, pendidikan sex masih diterapkan melalui mata pelajaran biologi, sehingga informasi-informasi mengenai sex masih dinilai kurang. Karena dalam mata pelajaran biologi hanya memberikan pengertian sex yang sebenarnya dan tidak memberikan aspek-aspek psikologisnya, seperti bimbingan keluarga dan konseling. Selain itu juga, pendidikan sex di Negara-negara Asia baru mulai diterapkan pada tahun 2000 keatas. Bagaimana dengan Negara-negara di Eropa?
Di Prancis, pendidikan sex secara formal sudah mulai diterapkan sejak tahun 80-an. Yang memberikan dan bertanggung jawab dalam pemberian pendidikan sex adalah sekolah. Dimulai sejak umur 12 tahun keatas. Anak-anak di Prancis mendapatkan pendidikan sex di sekolah secara khusus, ditambah dengan pemberian-pemberian seminar untuk tingkat sekolah menengah.
Anak-anak di Prancis juga berhak mendapatkan pendidikan sex di luar sekolah, yaitu melalui orang tua. Jika masih merasa kurang, mereka dapat menanyakan kepada dokter dan dokter-pun berkewajiban memberikan informasi tentang sex. Hasilnya, Prancis tidak pernah kelebihan penduduk.
Berbeda dengan di Prancis. Di Bulgaria pendidikan sex diterapkan melalui buku, majalah, dan juga website. Buku-buku tersebut bukanlah buku yang berjenis “17+”, tetapi buku yang sudah di sesuaikan khusus untuk anak-anak 11 tahun keatas. Begitu juga di website, anak-anak juga sudah dapat mengakses website-website tersebut yang sudah disesuaikan khusus untuk pendidikan sex pada usia 11 tahun. Tentunya harus dengan pengawasan orang tua. Hasilnya, anak-anak berusia dibawah 17 tahun enggan melakukan hubungan sex.

KELULUSAN SISWA SMP TARUNA BAKTI

Siswa SMP Taruna Bakti telah lulus 100%. Selamat yach....!

Rabu, 10 Juni 2009

DIMENSI KOGNITIF DALAM TAKSONOMI BLOOM

DIMENSI KOGNITIF DALAM TAKSONOMI BLOOM

YANG TELAH DIREVISI

KATEGORI

KETERANGAN

ARTI DAN CONTOH

C-1 Mengingat

Mengingat kembali pengetahuan yang pernah tersimpan

C-1.1 Rekognisi

mengidentifikasi

Tanggal berapakah hari kemerdekaan Indonesia

C-1.2 Mengungkap kembali

Mengingat apa tang pernah diingat sebelumnya

Mengingat kembali peristiwa masa kecil

C-2 Memahami

Membangun makna dan pesan pembelajaran baik dari pesan verbal, tertulis maupun grafis

C-2.1 Menafsirkan

Mengklarifikasikan

Mengubah dari bentuk sajian, misalnya numerik ke sajian verbal atau menguraikan dengan bahasan sendiri atas aspek penting dalam dokumen

C-2.2 Mencontohkan

Mengilustrasikan

Menemukan contoh khusus atau ilustrasi dari konsep atau prinsip

C-2.3 Mengelompokkan dan mengklasifikasikan

Engkategorikan, menggolongkan atau memasukkan

Menentukan apakah sesuatu termasuk dalam kategorinya, mengelompokkan apa yang telah diobservasi atau menggambarkan sesuatu

C-2.4 Menyimulkan, meringkas

Mengabstraksikan, menggeneralisir

Mengabstraksikan dalam tema umum misalnya juga menurut secara ringkas dalam bentuk kesimpulan

C-2.5 Melakukan pendugaan, hipotesa, memberikan pendapat, menyimpulkan

Membuat kesimpulan, melakukan ekstrapolasi dan melakukan prediksi

Misalnya membuat kesimpulan secara logis dari sebuah sajian materi

C-2.6 Membuat perbandingan

Membuat hal yang berlawanan/sebaliknya, melakukan pemetaan, membuat keterkaitan

Mislanya mendeteksi keterkaitan hubungan antara dua ide, obyek dan sejenisnya (melakukan perbandingan peristiwa sejarah dengan situasi sekarang)

C-2.7 Memberikan penjelasan

Mengkonstruksi dan membuat model

Membuat model sistem sebab akibat dan misalnya memberikan penjelasan tentang penyebab terjadinya runtuhnya orba

C-3 Penerapan

Mencoba atau menggunakan prosedur untuk situasi yang telah ditentukan

C-3.1 Mengeksekusi

Membawa, mengadakan, menyelesaikan dan mengamalkan

Misalnya dapat menerapkan prosedur tugas secara mudah

C-3.2 Mengimplementasikan

Menggunakan

Misalnya menerapkan prosedur tugas yang tidak familiar

C-4 Analisis

Menguraikan bahan/materi kedalam berbagai bagiannya dan menentukan bagaimana antar bagian terkait satu dengan lainnya serta bagaimana keseluruhan terpadu dalam mencapai tujuan

C-4.1 Membedakan

Diskriminasi, membedakan, memfokuskan dan pemilihan

Membedakan antara bagian yang penting dengan bagian yang tidak penting atau yang tidak relevan dengan yang relevan

C-4.2 Menyusun, menata, mempertalikan, melengkapkan

Menemukan, mengkaitkan, memadukan, mengoutline, mengurai, menstrukturkan/dekonstruksi

Misalnya penentuan bagaimana caranya untuk membuat sesuai antara bagian-bagian dalam struktur

C-5 Mengevaluasi

Membuat penilaian sesuatu berdasarkan standar atau kriteria

C-5.1 Melakukan Checking

Melakukan koordinasi, melakukan deteksi, memonitoring dan melakukan testing atau membuat hipotesisi

Mendeteksi adanya ketidakkonsistenan, kepalsuan dalam sebuah proses atau produk, menentukan apakah dalam sebuah proses dan produk mempunyai konsistensi internal, melakukan tes apakah sebuah prosedur efektif dalam penerapan

C-5.2 Melakukan Kritik

Memberikan penilaian

Mendeteksi apakah produk dengan kriteria eksternal ada ketidakkonsistenan, menilai apakah antara prosedur dengan pokok masalah ada kesesuaian

C-6 Mencipta

Mengumpulkan perbagian untuk menghasilkan bentuk yang berfungsi sebagai keutuhan atau mengorganisasikan kembali unsur-unsur menjadi bangunan yang baru

C-6.1 Menggeneralisir

Membuat hipotesis

Menyajikan hipotesis dengan berbagai alternatif berdasarkan kriteria yang berbeda-beda, misalnya menghasilkan hipotesisberdasarkan data atau fenomena yang berhasil di observasi

C-6.2 Membuat perencanaan

Mendesain produk

Membuat alat atau prosedur dalam kerangka menyelesaikan tugas atau membuat perencanaan riset untuk judul tertentu

C-6.3 Menghasilkan produk

Me-konstruksi

Menemukan produk misalnya membuat habitat untuk tujuan khusus




Rabu, 03 Juni 2009

Kembali Memantapkan Nilai-Nilai Pancasila

Politik menjelang pemilu semakin memanas! Pertentangan dan bibit perpecahan semakin dikhawatirkan merebak. Dimana peran guru saat genting seperti ini? Salah satu yang ingin saya sodorkan adalah kembali menanamkan dan memantapkan nilai-nilai Pancasila yang sudah mulai dilupakan.

Mengapa Pancasila? Bukankah Pancasila sudah mulai dilupakan akhir-akhir ini padahal nilai yang terkandung didalamnya sangat cocok untuk bangsa Indonesia yang sangat beraneka ragam ini. Sangat sulit kita membayangkan bila dasar negara ini hanya mampu mengakomodasi sebagian dari keanekaragaman itu.

Disinilah guru harus mulai kembali menata nilai dari sila-sila yang terkandung di dalam Pancasila. Guru harus menyadarkan siswa akan pentingnya saling menghormati perbedaan seperti yang ada dalam dasar negara ini untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini. Untuk itu, guru benar-benar harus memahami pula latar belakang, mengapa Soekarno mengumandangkan Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945.

Melalui sila pertama, Para pendiri bangsa ini, khususnya Soekarno menyadari bahwa agama yang beranekaragam di Indonesia ini merupakan potensi kuat untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Agama, khususnya Islam telah banyak terbukti mampu mengobarkan semangat perjuangan meraih kemerdekaan. Sila kedua, merupakan intisari dari arus perjuangan bangsa Asia-Afrika dalam meraih kedaulatan dengan munculnya ideologi Humanisme atau kemanusiaan yang menempatkan nilai kemanusiaan dan hak asasinya diatas kepentingan lainnya. Sila ketiga, Nasionalisme pun merupakan nilai yang sangat berperan aktif dalam menumbuhkan kesadaran rakyat dalam berbangsa dan bernegara. Sila keempat, demokrasi, musyawarah dan keterwakilan menjadi alat perjuangan sekaligus karakter bangsa yang harus dikembangkan dalam pelaksanaan berbangsa. Dan terakhir, sila kelima merupakan rekayasa dan penyesuaian dari sosialisme yang tengah menghantui Eropa dalam usahanya membela keadilan.

Dari uraian diatas, bagaimana mungkin kita akan membiarkan Pancasila menjadi artefak atau peninggalan dari perjalanan sejarah bangsa? Marilah kita mulai menanamkan nilai Pancasila ini dimulai dari keteladanan. Salah satu kritik tajam yan dialamatkan terhadap Pancasila adalah ketiadaannya figur yang dapat menjadi contoh. Dan mungkin kritik itu bisa dijawab dengan melaksanakan kehidupan yang harmonis dan saling menghormati di lingkungan sekolah terlebih dahulu. Guru adalah salah satu cocok yang paling efektif dan akan dilihat langsung oleh siswa.

Langkah berikutnya adalah dengan membangun suasana demokratis di kelas. Sebagai sebuah masyarakat kecil, sekolah bisa menjadi miniatur dan media dari pelaksanaan nilai Pancasila yang efektif dan efisien. Siswa seharusnya memang tidak hanya hapal teori yang diajarkan, namun jauh lebih penting adalah dengan langsung terlibat dalam kehidupan mereka sehari-hari di kelas. Setiap tindakan, perkataan dan aktifitas mereka harus mulai diperkenalkan dalam ”frame” kepancasilaan yang universal sehingga siswa paham betul bahwa sekecil apapun tindakan mereka yang baik dan benar merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Mereka harus paham bahwa Pancasila bukanlah gabungann ideologi besar dunia yang tergantung di atas langit, namun merupakan landasan dan dasar mereka untuk bertindak dalam lingkup yang lebih kecil dan mereka alami sehari-hari.

Dengan kembali memantapkan nilai-nilai Pancasila, maka kita harapkan dimasa mendatang, perbedaan tidak lagi menjadi sumber dan potensi konflik kita dalam berbangsa dan bernegara. Semoga.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd

Guru SMP Taruna Bakti/Koordinator Program Akselerasi SMP Taruna Bakti Bandung

Jl. LLRE Martadinata 52 Bandung 4261468

085624098017

imamwibawamukti@yahoo.co.id

akselerasismptarbak.blogspot.com

Selasa, 02 Juni 2009

BERPIKIR HISTORIS....!



(BAGAIMANA MENGEMBANGKAN SIKAP TOLERANSI ANTAR AGAMA DAN MEMAHAMI SEJARAH DALAM KONTEKS KEKINIAN…?)

Ketika pertama kali mengajar IPS terpadu, yang saya khawatirkan adalah bagaimana saya harus mengajar sejarah. Sebuah mata pelajaran yang penuh dengan hapalan dengan deretan kejadian dengan angka-angka yang menunjukkan waktu peritiwa itu terjadi. Lantas apa yang harus saya lakukan menghadapi tanggung jawab ini?

Akhirnya saya mengambil sikap untuk mengajar sejarah dari sudut pandang yang berbeda ! Sejumlah fakta sejarah dan segala legenda atau aksesoris cerita lainnya yang sering membuat sejarah menjadi bias, saya serahkan kepada siswa untuk menghapalkannya. Tugas saya sekarang adalah bagaimana saya mencoba menggali hikmah, makna dan nilai dari setiap peristiwa yang pernah dialami oleh bangsa ini.

Dan sejalan dengan waktu, saya semakin memantapkan diri untuk mengembangkan sebuah misi pribadi yang lebih khusus, yaitu ingin membangun sebuah kesadaran utuh pada siswa siswi untuk saling menghormati hak paling asasi manusia, yaitu AGAMA. Hal ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap sikap dari sebagian kecil masyarakat Indonesia yang belum bisa melapangkan dada dengan perbedaan, khususnya agama. Masih ada penganut dari agama-agama yang ada di Indonesia untuk menunjukkan eksistensi melalui simbol, baju, ritual dan jumlah.

Bukan tidak penting simbol, bukan tidak penting jumlah, namun tentunya yang jauh lebih hakiki dari adanya agama adalah terciptanya kehidupan yang damai, harmonis dan seimbang. Sehingga merupakan sebuah kebodohan dan kemunduran apabila kita mengotorinya dengan hal-hal berbau anarkisme, kekerasan, pembunuhan dan darah.

Misi Pertama.....

Misi ini terasa berat ketika pertama kali saya mengajar tentang sejarah perkembangan agama Hindu dan Budha di Indonesia. Banyak sekali siswa yang belum memahami hakekat dari setiap agama sehingga terkesan mempermainkan, melecehkan dan bercanda ketika saya menerangkan tentang Dewa-Dewa agama Hindu. Misalnya sekitar anggapan bahwa Agama Hindu itu Tuhannya banyak, mengapa bentuk Dewa itu aneh, apa itu reinkarnasi, mengapa ada kasta, ngaben dan sebagainya. Pertanyaan itu sebenarnya juga pernah muncul di benak saya ketika masih remaja dan saat itu saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang bijak selain penguatan akan miringnya pandangan kita tentang agama Hindu dan Budha.

Sekarang saya sendiri yang harus menjawab pertanyaan itu! Akhirnya jalan satu-satunya adalah dengan membaca sendiri buku tentang kedua agama tersebut. Dan apa yang saya dapatkan dari kegiatan membaca tersebut? Pencerahan….!

Saya mendapatkan jawaban-jawaban yang selama ini terpendam dalam benak saya dan siswa-siswa saya. Beberapa hal yang saya temukan adalah :

Banyaknya Dewa dalam agama Hindu, Reinkarnasi, Kasta, Kremasi, dan nilai filosofi dari kedua agama tersebut. Terlepas dari uraian yang panjang tentang hal-hal tadi, yang terpenting adalah bagaimana saya menjelaskan kepada siswa tentang bahwa sebenarnya pandangan miring atau anggapan-anggapan yang salah selama ini tidak terlepas dari ketidaktahuan dan ketidakmauan kita untuk mempelajari dan memahami nilai-nilai agama di lluar agama kita sendiri.

Itu wajar, jangankan mempelajari agama orang lain, mempelajari agama sendiri saja sering siswa merasa sulit dan enggan dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, minimal tugas guru dan orang tua untuk berperan aktif menyampaikan pentingnya saling memahami dan terus meningkatkan rasa hormat kepada agama lain sebagaimana kita pun ingin dihormati oleh agama lain. Tanamkan bahwa ketakutan, kekhawatiran dan pandangan miring kita terhadap agama lain, tidak lain hanyalah karena ketidaktahuan kita tentang agama orang lain.

Dan yang lebih penting lagi adalah, orang tua dan guru memberikan teladan yang baik dengan melakukan tindakan, mengeluarkan ucapan dan pikiran secara bijak ketika berbicara tentang perbedaan kepercayaan ini. Dan mempraktekan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Janganlah memperuncing kebencian terhadap agama yang berbeda, terlepas dari berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh hampir semua agama yang ada di dunia ini.

Dari tindakan-tindakan kecil tadi, kita berharap dimasa datang akan muncul sebuah masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang tinggi akan pentingnya menghoramti keyakinan orang lain, yang berbeda dari kita. Agama apapun itu….!

Ada sebuah pernyataan menarik dari seorang anak muda beragama Hindu dari Bali yang seharusnya mampu menjadi bahan renungan kita semua, “ janganlah mengaku-ngaku agama kita paling toleran apabila isi dakwahnya justru menebarkan kebencian terhadap agama lain! Jangan merasa diri paling toleran apabila kita masih memandang agama lain sebagai agama yang sesat. Apabila kita ingin melihat tingkat toleransi sebuah agama, maka dengarkan saja apa yang pendakwah mereka katakan tentang sesuatu dari agama orang lain”


Misi Kedua…

Melalui sejarah juga saya memiliki misi untuk kembali menata ulang pemikiran kita tentang sejarah. Sejarah bukanlah cerita masa lal dengan sederet fakta dan peninggalan lainnya. Sejarah lebih bermakna sebagai belajar hidup dari pengalaman untuk melakukan sesuatu lebih baik untuk hari ini dan masa depan.

Kekeliruan pikiran ini tidak lepas dari cara seorang guru mengajar mata pelajaran sejarah itu sendiri. Bisa kita rasakan dahulu, bila belajar sejarah maka yang akan diajarkan dan dievaluasikan tidak pernah lebih dari menghapal kejadian demi kejadian dari aktivitas manusia dahulu kala atau kemarin sore. Deretan waktu dan tokoh dalam kejadian menjadi momok paling menakutkan bagi siswa ketika mendengar kata sejarah. Ditambah lagi dengan metode pengajaran yang satu arah dan monoton. Lengkaplah sudah penderitaan siswa saat belajar sejarah.

Mengenai pemaknaan kembali sejarah menjadi sangat penting ketika kita melihat dan merasakan bahwa pelajaran sejarah yang disampaikan kepada siswa atau masyarakat sangat dipengaruhi sekali oleh pelaku yang berwenang untuk menentukan rentetan sejarah dari sebuah peristiwa. Dalam hal ini pemerintah, sangat berkepentingan dalam mengolah, mengumpulkan dan menentukan peritiwa apa yang layak untuk disampaikan termasuk interpretasi terhadap sejarah itu sendiri.

Contoh paling telanjang adalah bagaimana berkembangnya berbagai versi dari peristiwa G30S-PKI setelah 30 tahun kita mendengar satu versi yag sah menurut pemerintah. Juga peristiwa SuPerSeMar yang masih gelap dan membingungkan masyarakat. Dapat kita bayangkan berapa banyak lagi sejarah yang selama ini disembunyikan, direkayasan dan disampaikan kepada publik sebagai kebohongan hanya untuk mempertahankan kekuasaan. Dan bayangkan pula seandainya PKI berhasil menguasai Indonesia pada tahun 1965, sejarah seperti apalagi yang akan kita terima?

Karena sejarah tidak pernah lepas dari subyektifitasdan kepentingan penyusun sejarah itu sendiri, maka sebagai guru sejarah yang terpenting adalah bukan menghapalkan deretan angka dalam dimensi waktu namun lebih penting adalah kemampuan guru memberikan makna dari setiap peristiwa yang sudah terjadi dalam konteks kekinian.

Tugas guru adalah bagaimana guru bisa mengeksplore pemikiran siswa untuk mengidentifikasi nilai dan makna dari sebuah peritiwa secara bebas dan terbuka dan kemudian guru membuka perspektif siswa dengan mencoba menganalisis secara sederhana bersama siswa baik dengan hanya berlandasakan logika mereka, data dan fakta yang mereka kumpulkan kemudian didiskusikan secara mendalam di kelas. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan sikap kritis siswa terhadap setiap peristiwa yang mereka lalui.

Tidak sulit kok....! Jangan gambarkan kita seperti diskusinya para pakar sejarah di dunia kampus perguruan tinggi, tapi ciptakan saja ruang akademis terbuka di kelas masing-masing secara sederhana. Justru yang tersulit adalah merubah kebiasaan guru ketika mengajar sejarah, dari kebiasaan monolog, dominan dan sentralistis menjadi multilog, kesetaraan dan desentralisasi pengetahuan akan kebenaran antara guru dengan siswa.

Bukan saatnya lagi sejarah menjadi pelajaran yang menakutkan karena menjenuhkan. Sekarang saatnya!

Bandung, 3 Juni 2009

Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here