Kamis, 25 Maret 2010

PARADIGMA PENDIDIKAN DAN PENGARUHNYA PADA POLA PENDIDIKAN DAN METODE PENDIDIKAN SEORANG GURU

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, selama ini kita selalu melaksanakan suatu metode pendidikan yang sentralistis dan menempatkan peserta didik sebagai obyek dari pendidikan. Sementara disisi lain, memandang guru sebagai subyek dan pemilik pengetahuan bagi siswa-siswinya.
Namun ada juga guru yang melakukan sebuah metode pendidikan melalui sistem kompetisi, dimana siswa diharuskan mengikuti pendidikan layaknya perlombaan lari atau tinju. Siswa dimasukkan kedalam sebuah sistem pendidikan yang mengharuskan peserta didiknya untuk terus bersaing mengalahkan siswa lainnya. Peringkat atau rangking yang kita kenal selama ini telah berhasil mengkotak-kotakan siswa kedalam status pintar dan bodoh, atau kalah dan menang.
Dipihak lain ada juga guru yang membuka seluas-luasnya kepada siswa untuk mengekspresikan kemampuan dan pengetahuannya, dimana guru menempatkan dirinya sebagai gembala yang mengikuti dan membimbing dari belakang (tut wuri handayani)
Metode pendidikan pada paragraf pertama dan kedua, mungkin sudah dianggap lumrah di Indonesia. Dimana seseorang menjadi guru hanya sekedar untuk meniru, menjiplak atau meneruskan metode atau cara dari guru-gurunya dimasa lampau. Kekurangtahuannya terhadap perkembangan dunia pendidikan akhirnya memaksa mereka hanya sekedar penerus metode yang telah mapan dan dinggap paling benar dan paling tepat.
Jangan heran, akhirnya sistem pendidikan tersebut telah melahirkan peserta didik yang hanya merasa berhasil ketika dirinya menjadi rangking pertama dengan mengalahkan teman-temannya. Sementara lahir pula siswa yang merasa dirinya “bodoh” karena mendapatkan peringkat akhir dan selalu menjadi beban bagi nilai rata-rata kelasnya.
Freire menyebutnya sebagai pendidikan antagonistik yang memiliki ciri-ciri :

  • Guru mengajar, murid belajar
  • Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
  • Guru berpikir, murid dipikirkan
  • Guru bicara, murid mendengarkan
  • Guru mengatur, murid diatur
  • Guru memilih, murid menuruti
  • Guru bertindak, murid membayangkan tindakan guru
  • Guru memiliki kebiasaan, murid beradaptasi
  • Guru adalah subyek belajar, murid adalah objek pembelajaran
Oleh karena itu, lahirnya sebuah harapan, identifikasi dan tuntutan kepada guru untuk mampu menjadi sosok manusia ideal. Manusia yang dianggap mengetahui segala hal dan harus mampu menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Pertanyaannya, apakah guru menyadari benar dengan apa yang telah dan sedang dilakukannya ketika sedang mendidik peserta didik? Apakah guru menyadari bahwa metode pembelajaran yang dilakukannya di kelas akan sangat berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan peserta didiknya. Apakah guru mengetahui bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah bekal untuk peserta didik dimasa mendatang? Mampukah metode yang sekarang dipergunakan dalam mendidik akan berguna atau tepat untuk mempersiapkan anak didik kita untuk menjalani kehidupannya dimasyarakat saat ini atau bahkan dimasa mendatang?
Jangan-jangan…guru sendiri tidak pernah menyadari hal tersebut. Mungkin guru kita selalu terbebani administrasi di awal tahun pelajaran, dibebani materi ditengah tahun pelajaran dan terbebani oleh memeriksa hasil tes diakhir tahun pelajaran. Lalu kembali terbebani oleh siklus tahunan kembali.
Jangan-jangan ada pula seorang guru yang tidak pernah menyadari posisi dan perannya sebagai guru. Sebuah profesi yang sangat berperan dalam membentuk wajah masyarakat dan bangsa ini dikemudian kelak. Atau guru malah berpikir bagaimana menjalan tugasnya hanya untuk sekedar menjalankan kewajiban menyampaikan materi, melakukan evaluasi dan kemudian mengakhirinya dengan liburan panjang dan kesibukan menerima murid baru.
Pernahkah guru sejenak mengendapkan jiwa dan pikirannya untuk menata kembali tujuan hakiki dan peran abadi yang disandang oleh profesi bernama guru? Atau kita sedang sibuk mengejar sertifikasi walau harus sering meninggalkan siswanya dalam waktu yang lama? Pernahkah ada guru yang memahami bagaimana dirinya memandang dunia pendidikan secara utuh dan menyeluruh? Atau terlalu sibuk untuk menghitung struk gaji dan memikirkan bagaimana menutupi kekurangannya untuk 20 hari kedepan?
Guru adalah juga manusia…jelas! Manusia tidak luput dari berbagai kebutuhan dan permasalahan hidup sebagai mana juga dialami oleh manusia lain yang berprofesi selain guru. Namun terlepas dari itu semua…pernahkah kita menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah seorang guru. GURU?

PARADIGMA PENDIDIKAN
Mari sejenak kita berhenti dari rutinitas dan melakukan refleksi tentang cara pandang kita memandang dunia pendidikan secara menyeluruh. Dimulai dengan memahami paradigma pendidikan yang kemudian akan ter-refleksi-kan dalam bentuk visi dan misinya dalam menjalankan tugas sebagai guru. Dan pada akhrinya akan memperngaruhi apa tujuannya menjadi seorang guru dan membuat strategi dan metode agar tujuannya bisa tercapai.
Mari kita kenali kembali apa itu paradigma. Paradigma adalah suatu teori, perspektif atau kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita memandang, menginterpretasikan dan memahami aspek-aspek kehidupan. (Anita Lie, Cooperative Learning, 2008)
kita akan sulit membuat kue tart kalau resep yang dipakai adalah resep membuat lemper. Atau kita akan sulit menemuan jalan di Jakarta bila peta yang kita pakai adalah peta kota Bandung. Sama halnya dengan pendidikan, seorang guru akan sulit menentukan tujuan dari pekerjaan yang dilakukannya bila tidak menyadari paradigma yang dijadikan sebagai acuannya.
Untuk sekedar mengingatkan, dalam dunia pendidikan kita mengenal ada tiga paradigma pendidikan besar yang banyak dianut oleh pelaku pendidikan, tiga paradigma tersebut adalah:
1. Paradigma konservatif
2. Paradigma liberal
3. Paradigma pendidikan kritis

Paradigma konservatif
Adalah kelompok yang memandang pendidikan sebagai proses transfer nilai, budaya dan kondisi yang sudah ada. Paradigma ini cenderung mempertahankan status quo, kondisi seperti apa adanya.
Paradigma ini memandang siswa adalah seperti tabula rasa, ruang kosong yang harus diisi oleh segala hal yang menunjang dan mempertahankan kondisi yang tengah berjalan. Bagi penganut paradigma ini, guru adalah sumber pengetahuan dan berhak menentukan warna dan pola peserta didiknya.
Berdasarkan asumsi ini maka guru akan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan ciri:
1. Memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa
2. Mengisi botol kosong dengan pengetahuan
3. Mengkotak-kotakan siswa
4. Memacu siswa dalam kompetisi
Paradigma ini dipelopori oleh teori TABULA RASA-nya Jhon Locke yang mengasumsikan bahwa anak adalah kertas kosong yang siap diisi oleh segala ilmu pengethuan, kebijaksanaan dari guru. Sehingga apapun yang diberikan dan dilakukan guru akan sangat mempengaruhi pada pola tingkah laku dan pikiran anak.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here