Minggu, 01 November 2009

BAGAIMANA MENGELOLA KELAS?

Saya sengaja tidak melanjutkan judulnya menjadi bagaimana mengelola kelas menjadi lebih baik, karena pada hakekatnya setiap guru memiliki standar dan cara untuk menentukan apakah kelasnya sudah baik atau tidak. Dan juga saya tidak mau memiliki beban seolah saya bisa menciptakan suasana seperti itu. Karena dalam kenyataannya, semua guru meemukan karakteristik unik dari setiap kelas. Ada satu kelas yang ribut di saat guru tertetu mengajar namun tidak ribut di saat guru yang lain. Ada kelas yang antusias di guru tertentu, tapi kurang antusias saat guru yang lain.
Semoga itu bukan masalah karena kelas juga membawa karakter tertentu. Ada kelas yang didominasi oleh anak-anak “kognitif”, ada kelas yang didominasi anak-anak “psikomotor” atau “afektif”. Dan ada juga kelasnya didominasi oleh anak-anak audio, visual atau motorik. Sehingga gaya mengajar guru satu belum tentu cocok dengan karakter kelas dan justru cocok dengan guru yang lain. Walau begitu, secara garis besar kita bisa membuat indikator umum untuk menilai apakah kita sudah membuat suasana kelas yang kondusif untuk kegiatan belajar atau belum. Indikator ini bisa kita susun menurut pengalaman kita sehingga bisa jadi ada beberapa indikator yang sama dengan guru lain dan indikator yang berbeda bisa kita simpan sebagai bahan kajian sendiri.
Beberapa indikator umum tersebut diantaranya:
1. Siswa dapat belajar dengan baik tanpa diganggu oleh kurangnya informasi atau ketidaktahuan mereka akan tugas di saat belajar.
2. Waktu belajar dapat digunakan secara maksimal untuk proses belajar tanpa diganggu oleh fasilitas yang belum dipersiapkan atau kegiatan yang tidak menunjang pembelajaran.
3. Guru secara maksimal dapat mengotimalkan sarana dan potensi yang ada dikelas (siswa atau media) untuk menunjang kegiatan belajar mengajar.
Jadi, bila ketiga unsur ini terpenuhi, maka secara umum guru telah mampu mengelola kelas dengan baik. Masalah yang muncul di kelas bisa sangat kasuistis, dimana guru mungkin akan mendapatkan siswa yang ribut, mengantuk atau tidak mengerjakan tugas. Namun hal tersebut tentunya bisa ditangani guru dengan baik berdasarkan pengalaman dan ilmu yang telah diperoleh.
Saya kurang tertarik untuk membahas kasus perkasus masalah yang senantiasa muncul di kelas. Hal ini disebabkan hal-hal tersebut menjadi wewenang guru untuk menanganinya. Tidak ada hak seorang guru untuk membicarakan atau menanggapi trik, cara atau strategi yang dipakai guru dalam mengelola kelas selama itu pada tataran teknis. Namun bila ada kesalahan yang sudah prinsip maka semua pihak berkewajiban untuk saling mengingatkan. Misalnya ada guru yang melakukan kekerasan fisik terhadap siswa, maka itu sudah menyentuh pada tataran filosofis pendidikan dan etika profesi. Tidak ada pembenaran untuk kekerasa fisik maupun psikis untuk mendidik siswa. Maka guru berhak dan berkewajiban untuk mengingatkannya.

Apa itu pengelolaan kelas?
Berbicara kelas, ada beberapa pandangan tentang konsep tentang kelas. Ada yang memandang kelas sebagai ruangan yang disekat oleh empat dinding dan berisi media pembelajaran. Pandangan ini disebut sebagai aspek statis, dimana kelas dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Dalam pandangan ini pula, kelas bisa direkayasa secara pasti untuk menunjang situasi yang kondusif bagi proses pembelajaran.
Konsep kedua tentang kelas, ada yang memandang kelas dalam pengertian dinamis. Kelas dipandang sebagai suatu komunitas kecil di sekolah yang menjadi kesatuan organis yang memiliki unit kerja secara dinamis dengan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk mencapai tujuan bersama.
Dari kedua konsep tersebut, maka kita sebagai guru�����tut untuk mampu mengelola kelas dari aspek fisik dan aspek psikis. Berapa banyak guru yang setelah sekian lama tidak pernah mengganti gambar di dinding kelas? Atau banyak sekolah yang sudah tidak mengganti warna cat kelas dengan yang sudah kusam? Lantas bagaimana anak bisa betah di kelas seperti itu? Jangankan untuk menerima materi, untuk sekedar nyaman saja duduk di kelas, mereka sulit melakukannya.
Untuk itu maka, guru diharapkan untuk mampu menciptakan suasana yang menyenangkan, menggairahkan dan menumbuhkan rasa ingin tahu pada anak dengan situasi kelas yang ada. Rubahlah gambar dengan yang lebih baru, cat kelas yang cerah atau tulisan-tulisan yang mampu memberikan semangat.
Untuk pengertian kedua, guru harus memperhatikan aspek siswa sebagai subjek pembelajaran. Bila guru terlalu fokus kepada kelas sebagai fisik, maka guru akan cenderung memperlakukan anak juga sebagai benda mati yang hanya bertindak sebagai objek pembelajaran. Siswa dianggap sebagai gelas yang hanya bertugas untuk belajar dan menyelesaikan tugas semata. Dan ini yang sering menimbulkan masalah.
Adapun pengertian pengelolaan biasanya identik dengan manajemen. Guru adalah manajer, manajer kelas yang bertugas menjalankan tugas pokok manajemen kelas. Manajemen mengandung 4 kegiatan pokok yaitu Planning (merencanakan), Organizing (mengelola), Actuating (menggerakkan), Controlling (pengawasan).
Dari pengertian diatas, kita bisa menyimpulkan pengelolaan kelas sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar dicapai kondisi optimal sehingga terlaksana kegiatan belajar seperti yang diharapkan.

Beberapa pendekatan dalam pengelolaan kelas
Dalam keseharian, guru dihadapkan pada masalah umum dalam pengelolaan kelas. Masalah tersebut adalah adanya beberapa siswa yang tidak ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, misalnya ngobrol, melamun, diam bahkan tertidur. Masalah ini menunjukkan bahwa siswa belum siap untuk menerima materi dan guru belum berhasil mengkondisikan kelas dan siswa untuk melakukan kegiatan belajar.
Untuk itu, guru harus berusaha untuk menciptakan sebuah harmoni rasa antara siswa dan guru. Guru tidak bisa hanya karena alasan waktu, lantas melupakan tahapan apersepsi. Tahap apersepsi ini berfungsi untuk menyelaraskan kesiapan guru untuk mengajar dan siswa untuk menerima materi baru. Ada guru yang begitu masuk kelas langsung menyuruh siswanya untuk membuka buku, mengeluarkan tugas atau langsung menerangkan materi, tanpa memperhatikan kesiapan siswa untuk menerima materi baru. Pikiran dan hati mereka bisa jadi masih tertambat pada pelajaran atau peristiwa sebelumnya.
Apersepsi bisa berisi kegiatan menanyakan materi jam pelajaran sebelumnya, menanyakan materi pertemuan terakhir, memeriksa kelengkapan attribut atau sekedar bertanya tentang kesan mereka hari itu. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, secara perlahan guru harus mampu membawa pikiran dan rasa mereka untuk memasuki materi inti dengan segala aktivitasnya.
Keterampilan guru dalam apersepsi sangat menentukan kegiatan pembelajaran berikutnya. Bahkan ada pemeo mengatakan bahwa apa yang anda lakukan 5 menit pertama akan menentukan menit-menit berikutnya. Namun saya bukan ahlinya dalam membuat atau merancang apa yang harus dilakukan dalam 5 menit pertama tersebut, sehingga sangat sulit membuat standar baku untuk kegiatan ini.
Secara garis besar, apapun yang dilakukan di 5 menit pertama haruslah bersifat persuasif, mengajak mereka masuk ke dalam kegiatan baru secara alamiah. Tanpa rasa takut, segan, enggan dan malas. Mungkin ada siswa yang jangankan mengikuti pelajaran, untuk menanti detik demi detik menunggu kedatangan guru saja sudah merupakan siksaan bathin, apalagi dengan setumpuk tugas dan materi yang harus diterima di menit-menit berikutnya.
Ini bukan tentang karakter guru! Ini bukan tentang longgarnya menerapkan disiplin, karena karakter guru dan disiplin tidak harus dalam suasana yang mencekam. Suasana mencekam ini sebenarnya masalah kesan yang memang diciptakan sendiri oleh guru karena masalah pendekatan. Pendekatan yang dilakukan guru sebenarnya tidak dilatarbelakangi oleh karakter guru atau kedisiplinan.
Guru yang merasa memiliki karakter keras, judes dan tidak suka basa basi bukan berarti tidak bisa menciptakan suasana yang menyenangkan. Karena alasan itulah kita belajar di fakultas keguruan dan pendidikan.
Beberapa pendekatan dalam pengelolaan kelas:

1. Pendekatan kebebasan
Pendekatan ini dilandasi oleh paradigma kepercayaan, artinya guru mempercayai siswa untuk menjadi subyek dan obyek pembelajaran secara mandiri. Pendekatan ini dilandasi oleh pemahaman guru sebagai fasilitator dan mediator proses kegiatan belajar mengajar.
Melalui pendekatan ini, guru memberi ruang lebih besar kepada siswa untuk menggali pengetahuannya dan kemudian disusun menjadi ilmu yang bisa berguna bagi kehidupan mereka. Pemberian kesempatan yang besar ini membuka terjadinya fleksibilitas dalam penggunaan metode, strategi dan alokasi waktu.
Namun terlepas dari beberapa konsekuensi diatas yang harus diantisipasi guru, pendekatan ini sebenarnya sangat bermanfaat bagi siswa untuk bisa saling memahami, menghormati dan menghargai proses belajar ketimbang hasil.
Namun jangan disalahpahami! Ini adalah pendekatan, bukan pemberian kebebasan dimana anak bisa bebas untuk bertindak yang tidak berhubungan dengan kegiatan pembelajaran. Guru harus bertindak sebagai fasilitator bagi terciptanya kondisi yang kondusif bagi terlaksananya kegiatan belajar mengajar.
Contextual Teaching and learning merupakan salah satu latihan yang sangat cocok bagi guru yang melakukan pendekatan ini karena metode-metode yang ada dalam CTL umumnya berpegang pada pendekatan ini.

2. Pendekatan pengajaran
Pendekatan ini menekankan pada proses pembelajaran sebagai sebuah proses transfer ilmu dan pengetahun dari subyek kepada obyek. Pendekatan ini biasanya dilakukan pada awal pembelajaran atau pembahasan materi baru dimana guru memberikan gambaran tentang subjek yang akan dipelajari dan dibagian akhir ketika guru menjadi mediator bagi siswa dalam memaknai informasi yang telah diperoleh.
Pendekatan ini juga dilalkukan bila guru mempersiapkan siswanya untuk menghadapi ujian yang bersifat hapalan dan ingatan. Pendekatan ini memiliki kelebihan dalam merencanakan alokasi waktu, metode dan sarana yang akan disiapkan dalam pembelajaran.
Pada umumnya, guru lebih memilih metode ini dengan anggapan lebih efektif dan efisien. Waktu yang dibutuhkan tidak banyak dan hasil yang diperoleh bisa maksimal. Padahal, waktu dan hasil sangat tergantung pada tujuan pembelajaran yang akan dicapai, bukan masalah cepat atau lambatnya mteri tersampaikan atau pada tinggi rendahnya nilai yan diperoleh.

3. Pendekatan behavior
Metode ini dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk mengubah tingkah laku peserta didik. Pendekatan ini didasari pada asumsi:
1. Tingkah laku baik dan buruk merupakan hasil proses pembelajaran dan pembiasaan.
2. Di dalam proses belajar terdapat proses psikologis yang fundamental berupa penguatan positif (positive reinforcement), penghapusan (extinction) dan penguatan negatif (negative reinforcement).
Oleh karena itu, maka guru bertindak sebagai pemberi stimulus bagi lahir dan terbentuknya sebuah kebiasaan-kebiasaan baik bagi siswanya.

4. Pendekatan resep
Siswa menjadi pelaku pembelajaran dengan resep atau skenario yang sudah ditetapkan oleh guru. Pendekatan ini bisa dilakukan oleh guru dengan tujuan supaya siswa tidak melenceng dari tujuan pembelajaran.
Guru membuat petunjuk detail yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan siswa sementara guru hanya mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh siswa.

5. Pendekatan kekuasaan
Pendekatan ini adalah sebuah pola untuk menciptakan sebuah proses untuk mengontrol tingkah laku anak didik. Pendekatan ini dilakukan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi terlaksananya proses pembelajaran. Melalui kekuasaan ini guru berusaha untuk menanamkan sikap disiplin, taat aturan dan mampu mengontrol diri mereka ketika melaksanakan proses pembelajaran.

6. Pendekatan ancaman
Siswa berpotensi untuk menganggu proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas, namun guru berwenang untuk mengontrol siswa untuk tetap pada garis tujuan yang hendak dicapai. Mengutarakan ancaman di awal pembelajaran menjadi konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan siswa.

7. Pendekatan emosi dan sosial
Belajar akan menjadi maksimal mencapai hasil bila tercipta dalam situasi dan kondisi yang mendukung. Dalam pendekatan ini, siswa dianggap sebagai manusia yang memiliki sisi psikologis klinis dan konselling sebagai bentuk pengakuan akan eksistensinya. Hubungan emosi yang baik antara guru dengan siswa diharapkan akan memberikan dampak ppositif pada kesiapan mereka dalam menerima pembelajaran.

8. Pendekatan elektis dan pluralistik
Siswa pada dasarnya memiliki potensi untuk kreatif dan inovatif sehingga berbagai pola pendekatan yang telah diutarakan diatas sangat mungkin untuk dilaksanakan dalam satu proses pembelajaran.
Guru pun dituntut untuk mampu kreatif memadukan berbagai pendekatan ini bagi terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi guru untuk merancang, mempersiapkan dan menetapkan pendekatan yang paling cocok untuk dilaksanakan di ruangan kelas.

1 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here