Selasa, 03 November 2009

SEKOLAH SEBAGAI SUMBER KENDALA DALAM PENGEMBANGAN KREATIFITAS ANAK


Mengapa kita-atau siswa- sangat sulit untuk bertindak kreatif? Dalam kenyataannya, seseorang sering menghadapi kendala dalam mengembangkan kreatifitasnya. Dari beberapa sumber kendala tersebut salah satu diantaranya adalah sekolah dan guru. Tanpa disadari oleh guru atau sekolah, sering kita temui beberapa tindakan guru yang bermaksud untuk mengembangkan kreatifitas, namun tindakan yang dilakukan justru membunuh kreatifitas itu sendiri. Misalnya, guru lebih menekankan pada hasil belajar berupa angka-angka ketimbang proses yang mengembangkan kreatifitas, tidak menanggapi umpan balik dari siswa tentang proses kegiatan belajar mengajar atau guru senantiasa mengawasi dan khawatir dengan tindakan siswa di kelas. Beberapa contoh lain dari hambatan pengembangan kreatifitas di sekolah adalah guru sering memberikan instruksi yang terlalu detail tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa sehingga siswa tidak mampu berkreasi secara bebas.
PYGMALION EFFECT
Ketika guru masuk ke dalam kelas, sebenarnya guru telah membawa sebuah sikap yang ditentukan oleh harapan guru tersebut kepada siswanya. Bila guru akan masuk ke dalam kelas yang sebagian besar muridnya memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, maka guru cenderung bersemangat dan memiliki harapan yang tinggi pula terhadap anak-anaknya. Sementara ketika akan masuk ke dalam kelas yang mayoritas siswanya terdiri atas siswa yang memiliki kecerdasan rata-rata maka guru pun akan cenderung memiliki harapan yang rendah. Sikap dan harapan ini akan berdampak pada “semangat” dan sikap guru dalam mengajar anaksiswanya.
Dalam istilah motvasi kita mengenal istilah Pygmalion effect, yaitu bahwa tanpa disadari seseorang berperilaku sebagaimana ia percaya orang lain mengharapkan ia berperilaku. Jika siswa menyadari atau tidak, gurunya memberikan harapan yang tinggi kepada mereka, maka mereka akan melakukannya sesuai dengan harapan guru tersebut. Namun sebaliknya, bila siswa menyadari atau tidak bahwa gurunya tidak mempercayai mereka bisa berbuat yang terbaik, maka mereka akan cenderung bertindak sesuai dengan harapan gurunya.
Oleh karena itu, ketika guru akan masuk ke dalam kelas, maka setiap guru harus berada pada titik 0, yaitu suatu keadaan bathin dan sikap netral memandang siswanya untuk kemudian secara sadar memberikan sikap dan perlakuan yang sama kepada semua siswanya. Hal ini akan mengurangi dominasi prasangka dan perasaan ketika akan memulai mengajar. Misalnya, karena masuk ke dalam kelas yang siswanya didominasi oleh siswa cerdas maka guru tersebut memberikan bentuk soal latihan atau test yang lebih menantang sementara karena masuk kelas yang siswanya memiliki kecerdasan rata-rata maka guru memberikan soal atau latihan yang tidak menantang.
Pygmalion effect juga sering disebut self fulfilling prophesy, yaitu bahwa tanpa disadari orang akan berperilaku sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku (Chaplin, 1976). Jadi pada prinsipnya, prestasi dan kreatifitas siswa akan sangat dipengaruhi juga oleh sikap dan perlakukan guru terhadap mereka.

METODE HAPALAN
Sampai saat ini, proses kegiatan belajar mengajar di sekolah lebih menekankan pada hasil ketimbang proses. Hal ini tentunya bukan hanya masalah guru namun juga sistem pendidikan Indonesia secara umum yang memang menekankan hasil berupa angka ketimbang pemahaman dan kemampuan siswa dalam memaknai ilmu dan informasi yang diperolehnya. Metode seperti ini, dalam metode pendidikan disebut sebagai “metode menghapal mekanis”.
Metode ini termasuk metode yang sering dipakai dalam sistem pendidikan tradisional yang mengharapkan supaya pendidikan “back to basic” untuk memberikan ilmu dasar sebagai landasan kuat bagi siswa untuk masuk kedalam masyarakat. Pandangan ini bisa menjadi benar ketika kita berpikir bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan pembelajaran bahan pengetahuan dasar. Namun kelemahan dari metode ini adalah bahwa menumpuknya ilmu dalam benak siswa belum tentu akan mampu dieksplor atau dimanfaatkan oleh siswa ketika mereka berhadapan dengan masalah sebenarnya dalam hidup, bahkan bisa jadi masalah apabila proses penumpukan ilmu itu pun dilakukan hanya sebatas ingatan semata. Kreatifitas tidak akan muncul melalui pengumpulan ilmu dan teori namun harus dilatih melalui sebuah proses panjang sampai siswa bisa merasakan sendiri dari manfaat ilmu yang dipelajarinya.
Namun dalam perkembangannya, ditengah-tengah masyarakat muncul tuntutan untuk merubah metode tersebut dari metode menghapal mekanis kebentuk metode variatif dimana siswa diberikan kebebasan untuk memahami ilmunya dengan metode “democratic teaching”. Metode democratic teaching lebih menekankan pada proses diskusi dimana siswa diberikan keleluasan waktu untuk mencari pengetahuan secara mandiri dimana guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator.

TEKANAN TEMAN SEBAYA
Dalam pertemanan, siswa memiliki masalah yang jauh lebih rumit dari sekedar menghapal sebuah teori atau memahami sebuah rumus. Hampir tidak ada materi pelajaran di kelas yang bisa membekali siswa untuk bisa memahami apa yang mereka alami di lingkungannya. Berbagai macam masalah dan konflik dan permasalahan mengalir begitu deras dalam pergaulan mereka sehari-hari. Berbagai macam karakter guru dan teman terpampang jelas dan menantang di depan wajah mereka.
Lantas dimana guru berperan?
Tekanan dari teman bisa muncul dari sikap teman yang meremehkan, berharap banyak, penilaian, ancaman atau sekedar teror “mental” berupa ucapan terhadap tingkah siswa kita. Tekanan itu sangat berdampak dalam kemampuan siswa untuk mengembangkan potensi bila tidak berhasil di”manage” secara bijak.
Proses penenggelaman potensi ini berproses dalam jangka waktu tertentu yang berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya. Sehingga sekolah dan guru memiliki waktu untuk membantu mereka mengatasi masalah dalam pertemanan ini. tanpa bantuan guru, siswa bisa tidak fokus dalam menetapkan prioritas masalah yang harus diselesaikan, diabaikan atau sekedar dipikirkan. Guru hanya membantu dalam proses dimana siswa diberikan masukan, alasan dan alternatif solusi dan setelah itu biarkan siswa memilih sendiri dengan kesadaran untuk menangung segala konsekuensi yang akan dihadapinya.
Proses penyadaran ini diharapkan melatih kemampuan siswa untuk mengatasi segala permasalahannya secara kreatif dan tidak membuat mereka rendah diri untuk sekedar menunjukkan kemampuannya dihadapan teman-temannya. Penyadaran ini memang membutuhkan kesabaran semua pihak, karena dalam masa perkembangan mereka cenderung untuk merasa benar dan telah mampu berdiri sendiri. Jangan datang kepada mereka namun ketika mereka datang, kita harus dalam posisi ada untuk menyambut mereka.

MENYIKAPI KEGAGALAN
Kegagalan adalah sebuah kenyataan yang sering dialami oleh setiap orang, termasuk Edison sekalipun. Namun yang menjadi pembeda dengan kita, Thomas Alfa Edison menganggap bahwa setiap kegagalannya adalah sebagai sebuah hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Bagi Edison, kegagalan adalah cara dia menemukan sesuatu yang belum benar. Bukan sebagai akhir dari sebuah proses.
Guru harus mampu menanamkan kesadaran terhadap siswa didiknya bagaimana mengelola sebuah kegagalan sebagai sebuah hikmah atau ilmu yang bermanfaat bagi dirinya ketika menghadapi permasalahan yang sama dimasa mendatang.
Memunculkan motivasi kepada anak untuk mampu bangkit dari kegagalan adalah dengan cara membantu siswa untuk memahami sumber atau penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut. Guru harus mampu menggiring bahwa penyebab kegagalan adalah bersumber dari segala sesuatu yang sebenarnya bisa dirubah. Kalau ada anak yang menganggap bahwa kegagalan yang diperolehnya karena ketidakmampuan dirinya untuk mencapai keberhasilan, maka guru harus menggiringnya menjadi sesuatu yang bisa dirubah, misalnya karena kurang perencanaan, salah metode atau sekedar kurang giat usaha.
Bila siswa tidak diberikan gambaran tentang hal itu dan berkutat dengan keyakinan dirinya, bahwa kegagalan itu adalah karena dirinya tidak mampu, maka siswa akan tidak termotivasi untuk mencapai sasaran berikutnya karena menganggap, tujuan apapun akan gagal karena dirinya tidak mampu.

RASA BOSAN YANG MEMUNCAK
Kita menganal Thomas alfa Edison yang dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap tidak mampu belajar dengan baik disekolahnya. Kita mengenal Einstein yang dikatakan malas oleh gurunya dan dihakimi tidak akan berhasil dalam hidupnya, begitu juga dengan Charles Darwin yang sering dimarahi gurunya karena lebih senang naik pohon dan mengamati makhluk disekitarnya dibandingkan duduk manis di kelas mendengarkan guru yang sedang mengajar. Contoh-contoh didepan merupakan beberapa contoh bagaimana sekolah kurang mampu mengakomodasi berbagai macam bentuk kecerdasan yang dimiliki oleh siswanya.
Sekolah sering terjebak pada sebuah anggapan bahwa semua siswa memiliki potensi, bakat , gaya belajar dan tingkat kepandaian yang sama sehingga pada akhirnya diperlakukan dan dilayani dengan metode yang seragam. Penyeragaman ini sangat berpotensi untuk membuat anak merasa jenuh dan terhambat kreatifitasnya.
Dalam beberapa ulasan banyak diuraikan penyebab kejenuhan siswa terhadap kegiatan belajar, salah satunya adalah metode belajar yang tidak tepat, tidak ada variasi pembelajaran, sarana sekolah yang sangat terbatas atau cara guru yang mengajar dengan cara monoton. Dari sebab-sebab diatas, tentunya yang paling berperan untuk melahirkan kembali hasrat untuk berprestasi dan kreatif adalah kemampuan guru dalam merekayasa proses pembalajaran menjadi lebih bermakna, berwarna dan bergaya.

Semoga tulisan ini sedikitnya mampu memberikan wawasan bagi guru dan sekolah untuk menghindari berbagai macam hal yang dapat menghambat bahkan mematikan kreatifitas siswa di sekolah.

imamwibawamukti@yahoo.co.id
4-11-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here