Kamis, 07 Mei 2009

MENGHADIRKAN SUASANA DEMOKRATIS DI KELAS

Mengapa “Tut Wuri Handayani” menjadi motto dunia pendidikan Indonesia? Padahal selain itu masih ada dua lagi landasan filosofi yang dikumandangkan dalam dunia pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan Indonesia yaitu “Ing ngarso Sung Tulodo” dan “Ing madyo mangun karso”.

Hal ini perlu benar-benar dipahami oleh semua pihak yang bergerak dalam dunia pendidikan, khususnya guru dalam menjalankan amanatnya sebagai pendidik. Pemilihan “Tut wuri handayani” sebagai semboyan pendidikan Indonesia mengandung makna bahwa guru tidak selalu harus berada di depan menjadi “penglima” dalam proses kegiatan belajar mengajar dan guru tidak menjadi satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran bagi siswa-siswimya. Guru hanyalah orang yang harus mampu memberi makna dalam setiap proses pembelajaran dan membangun motivasi bagi siswanya untuk menyadari dan memaknai setiap proses belajar yang dialaminya.

Kata “panglima” yang saya maksud adalah, selama ini guru sering menganggap bahwa dirinya adalah subyek dari sebuah proses pembelajaran, sementara siswa adalah tak lebih dari sekedar obyek yang harus menerima setiap tahapan pembelajaran tanpa menyadarkan arti dirinya sebagai manusia yang utuh, yang mempunyai kebutuhan dan pengalaman dalam setiap tahap kehidupannya.

Demokratis yang dimaksud dalam kegiatan belajar di kelas adalah bagaimana kita, sebagai guru mampu membangun suatu suasana yang berlandaskan bahwa, belajar adalah dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa. Suasana seperti ini sangat diperlukan agar siswa menyadari dan mengetahui untuk apa dirinya belajar, apa manfaatnya bagi mereka sehingga pada akhirnya mereka dapat menemukan makna dari setiap materi yang mereka pelajari serta manfaatnya dalam kehidupan mereka sekarang dan masa depan.

Suasana demokratis di kelas dapat dibangun melalui dua pilar, yang pertama adalah merubah paradigma guru dari “Teacher Center” menjadi “Student Center” . Paradigma ini akan membuka pikiran guru untuk mau menerima kebenaran sekecil apapun dari siswa. Siswa sebagai manusia yang mempunyai emosi dan perasaan akan terus berfikir dan mencari korelasi dari setiap materi yang dia dapat dengan kehidupannya sehari-hari, yang sangat mungkin materi yang diajarkan guru berbeda dengan nilai-nilai kehidupan yang dia peroleh dari keluarga dan masyarakat, sehingga setiap proses akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis kritis dan membutuhkan jaaban praktis dari guru untuk memuaskan penasaran mereka.

Pilar yang kedua adalah keberanian guru dalam membiasakan dan mengajarkan kepada siswa tentang makna dari pembelajaran yang berpusat pada siswa sehingga setahap demi setahap siswa mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia dalam setiap pembelajaran yang dilaluinya. Tingkat kekritisan siswa pada suatu materi sangat tergantung pada kemampuan guru mengatur irama pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengemukakan pendapat secara terbuka dan jujur tanpa dihantui ketakutan. Suasana yang kondusif tersebut akan merangsang siswa untuk mempertanyakan segala hal, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang agak “aneh” untuk ukuran kita sebagai guru. Terkadang kita terlalu sibuk dengan target kurikulum sehingga pertanyaan yang “aneh” tersebut selalu diabaikan atau mungkin kita tidak mau terlihat tidak menguasai materi sehingga membunuh hasrat mereka untuk bertanya, dengan dalih “menyimpang dari materi” atau “waktunya tidak cukup”. Sudah saatnya guru menyerahkan tongkat “panglima” itu kepada siswa-siswinya untuk lebih cerdas memaknai belajar secara mandiri.

Suasana demokratis yang kita bangun, pada akhirnya akan membawa dampak dimana akan terkesan guru adalah “terdakwa” di dalam pengadilan yang dihujani berbagai macam pertanyaan dan sanggahan dari siswa. Pada saat seperti itu, kita dituntut untuk mau dan mampu belajar dan berdebat secara terbuka, logis dan diplomatis, karena sebagai manusia guru pun tentunya tak mungkin tahu segalanya.

Kekhawatiran bahwa siswa tidak menghormati guru sebagai dampak dari proses belajar mengajar yang demokratis, akan hilang seiring dengan tingkat kedewasaan siswa melalui proses belajar yang terus menerus. Cara bicara, berpendapat, menerima sanggahan, dengan sendirinya akan mengkristal pada diri siswa begitu merkea berhadapan dengan suasana yang terbuka dan saling menghargai satu sama lainnya.

Adapun tujuan dari proses pembelajaran yang bersifat demokratis di kelas adalah menumbuhkan sebuah proses penyadaran dari dalam diri siswa bahwa belajar bukanlah sebuah proses yang menjemukan namun justru merangsang mereka untuk belajar lebih banyak. Selain itu, yang paling penting adalah menumbuhkan rasa saling menghargai pendapat dan kebenaran yang mungkin berasal dari siswa maupun guru.

Semoga tulisan singkat ini mampu menjadi bahan renungan dan wacana bagi kita semua untuk terus membenahi pendidikan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Dimulai dari kita sebagai guru.

Imam Wibawa Mukti,S.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adsense ads


ShoutMix chat widget

Add your FEED icons here